Bukan Nasihat, Tapi Cerita Dari Sebuah Pernikahan Berumur 32 Tahun

Jelas ini bukan tentang aku, karena dari sisi umur aku belum berumur segitu. Ini tentang hubungan Ibuk sama Bapakku.

Ibuk dan Bapak terlahir dari dua budaya yang sangat berbeda.

Ibuk seorang introvet, pemalu dan tipe anak mama papa (meminjam istilah sekarang). Yang gak pernah berani keluar rumah sendirian. Selalu ada hal yang dikhawatirkannya, hingga sekarang.

Bapak seorang petualang, perantau, dan ektrovet akut. Masa mudanya habis di jalan. Jujur, ini dalam konteks positif, yaitu masa mudanya habis di jalan untuk mencari uang, karena Bapakku tidak terlahir dari orang tua kaya. Dan beliau anak sulung, yang mau gak mau dia juga harus bantu ayahnya untuk menghidupi keluarganya. Ini sebab (aku rasa) ia begitu tegas dan keras sampai sekarang. Karena dunia mendidiknya seperti itu, aku rasa.

Ibuk dan Bapak dipertemukan oleh sepupu jauh mereka. Gak ada hubungan pranikah yang lama. Jujur mengenai ini, aku gak pernah tanya, butuh berapa lama dari awal ketemu sampe menikah. Tapi aku rasa gak sampe tiga bulan. Aku juga heran bagaimana mereka saling percaya dengan waktu sesingkat itu. Temu. Lamar. Nikah.

Dengan kisah yang mereka jalani seperti itu, ternyata mereka (Ibuk dan Bapak) gak menyarankan untuk dilakuin di masa sekarang. Mereka tau, zaman bergulir dan berubah begitu drastis. Apa yang dulu bisa dilakuin, sekarang belum tentu bisa.

Mungkin, hanya segitu saja prolog tetang Ibuk Bapakku. Toh aku juga sebenarnya malas untuk ekspose latar belakang dan kehidupan pribadi keluargaku. Cuma aku ingin berbagi saja mengenai hubungan pernikahan yang sudah berumur 32 tahun itu. Yang bermula hanya dipertemukan sepupunya itu dan tanpa hubungan pranikah yang lama.

Apakah dari 32 tahun perjalanan pernikahan mereka damai-damai saja? Lempeng, lurus tanpa geronjal? Gak ada konflik?

Tentu tidak, tapi sepanjang pengetahuanku sampai sekarang, yang aku tahu, pernah terjadi konflik hebat, sekali. Ya, sekali. Waktu itu aku berumur 11 atau 12 tahun, atau lebih muda lagi ya, entahlah lupa pastinya berapa.

Pertengkaran yang bermula karena Ibuk membeli suatu barang yang saat itu belum bermanfaat betul fungsinya dengan harga yang tidak murah. Dan kebetulan kondisi ekonomi kami saat itu sedang tidak baik-baik saja. Belinya gak satu, tapi tiga sekaligus. Ditambah gak diskusi dulu dengan Bapak, sebelum beli. Jadi, jelas Bapak sebagai kepala rumah tangga, yang cari uang marah betul saat itu.

Baru kali itu aku tahu Bapak marah ke Ibuk (kalo ke aku jangan tanya lah ya :)). Hal yang sebelumnya belum pernah kudengar.

Apa yang saat itu aku dan abangku lakukan? Ada rasa traumatis kah atas kejadian itu?

Kami, saat itu terdiam membeku saja, karena baru pertama kali tahu Bapak marah ke Ibuk sebegitunya.

Untuk rasa traumatis, aku rasa gak ada. Karena marahnya Bapak saat itu hanya secara lisan, dengan nada tinggi saja, gak ada hujatan, kata-kata kotor ataupun kontak fisik juga saat itu.

Hal yang paling menarik (hikmah) yang bisa aku ambil dari kejadian itu adalah bagaimana mereka mengatasi masalah itu.

Bapak setelah pertengkaran itu hanya diam. Diam yang lama, seminggu lebih kalo gak salah. Gak ada kata yang muncul selama itu. Kami saat itu yo diam, toh juga gak tau gimana respons yang baik dari seorang anak ketika melihat orangtuanya bertengkar. Tapi meski dengan kemelut seperti itu, ia masih bisa bikinkan indomie buat aku dan abangku.

Sedangkan Ibuk, mencoba curhat ke abang dan ke aku, karena ketololan kami saat itu, gak ada timbal balik yang bisa kita berikan saat itu. Di sini aku merasa banyak hal yang seharusnya aku pelajari lebib awal dalam hal merespon curahan hati seseorang. Hal ini sangat aku sesali. Untung saat itu Ibuk menahan diri untuk tidak cerita ke Nenek atau tetangga. Mungkin akan beda jadinya.

Dari pertengkaran itu, aku masih melihat mereka masih sholat berjamaah bersama. Tapi, tetap suasana marah itu masih tampak dari perilaku mereka.

Setelah berhari-hari kondisi saling mendiam, tampak suatu sore mereka mulai ngobrol ringan. Kurasa saat itu suasana sudah mereda. Hingga sekarang aku gak pernah tanya siapa yang memulai komunikasi atau siapa yang minta maaf duluan. Yang jelas mereka tau cara menyelesaikan masalah mereka. Aku rasa Ibuk yang memulai percakapan terlebih dahulu, atau entahlah.

Sore tadi, setelah bertahun-tahun konflik itu, aku dengar gurauan mereka. Bermula dari bakda sholat ashar, aku lihat Ibuk (waktu aku ke kamar mandi basuh muka setelah tidur) yang bermukenah, duduk bersila sambil tubuh bagian atasnya (kepala hingga tangannya) ndlosor ke lantai. Sedang Bapak di sampingnya sedang merapal wirid, duduk tegak bersila.

Maghrib tadi, setelah buka, Bapakku meledek “hemm, perasaan tadi ada yang ngebisu sama lemes gak punya tenaga. Sekarang habis makan, nyerocos kayak Murai Batu habis santap belalang“.

Aku meringis, menahan tawa. Gak ngomong dan respons apa pun. Karena aku tipe orang yang gak banyak ngomong di rumah.

Mungkin tulisan ini akan kututup dengan kejadian lucu dari gak banyak omongnya aku di rumah.

Karena gak banyak omong, saking gak banyak omongnya kadang bingung sendiri untuk basa-basi memulai obrolan dengan keluarga. Pernah suatu sore saking bingungnya mulai percakapan dengan Bapak, aku malah tanya:

“Tinggal di mana Pak?”, hahahaha 🙂

Selamat sore, selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan.

Dari Netflix Hingga Juliari

Dulu, film ya identik dengan DVD, layar perak, bioskop dan lainnya. Lalu hadir Netflix di 2007, memperkenalkan layanan media streaming. Yang jarang kala itu. Meski di awal berdirinya perusahaan (tahun 97) ini memiliki bisnis penyewaan DVD.

Tapi Netflix tak mau berdiam seperti Nokia. Yang tak gagap dengan perubahan karena setiap langkahnya diperhitungkan dengan matang-matang ke depannya akan seperti apa.

Kini Netflix berubah menjadi perusahaan raksasa yang lini bisnisnya identik dengan film streaming. Mengahdirkan banyak film atau serial TV berkualitas dengan beragam genre.

Kita yakin semua akan “internet” pada waktunya. Tapi tak semua dapat membayangkan akan secepat ini.

Semua akan berubah. Banyak yang tak memperkirakan, tapi Netflix sudah mempersiapkan perubahan itu. Dan siap untuk terima durian runtuh itu.

Di tengah ketidakpastian seperti ini, akan terlihat mana perusahaan yang benar-benar pondasinya kuat. Di samping persaingan antar produsen, covid menekan daya beli konsumen, yang mana membuat industri semakin babak belur. Roda ekonomi benar-benar bonyok. Banyak industri yang sudah mengupayakan banyak cara untuk keluar dari masalah ini, tapi tak kunjung membaik, dan akhirnya solusi efisiensi organisasi sebagai jalan terakhir.

Efisiensi organisasi berarti merampingkan apa yang dulunya gemuk.

Efesiensi berarti upaya pengoptimalan hasil dengan sumberdaya yang benar-benar seadanya.

Pengoptimalan organisasi berarti membuang bagian-bagian yang dianggap merugikan atau kurang perlu.

Dalam sebuah organisasi yang berorientasi profit, efisiensi identik dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Semua kelas memang sedang tidak baik-baik saja, sekarang ini. Tapi, kalo boleh jujur kelas menengah dan bawah lah yang lebih benar-benar terpukul.

Banyak kalangan menengah dan bawah kehilangan pekerjaannya.

Bisa dibayangkan, selain beban kredit yang harus dibayarkan untuk sebuah rumah yang sedang ia dan keluarganya tinggali, atau susu untuk memastikan gizi bagi tumbuh kembang anaknya yang masih kecil, kini ia ketambahan pikiran “harus kerja apa besok, agar anak istriku tetap tercukupi”.

Hidup kelas menengah dan bawah memang sederhana, tapi tidak dengan jalannya.

Dan lagi, yang membuat hati saya sakit, dengan kondisi masyarakat sudah seperti ini, saya membaca bahwa mensos juliari terjerat kasus korupsi bansos.

Kebutuhan manusia sebenarnya mudah tercukupi asal yang ia butuhkan hanyalah sekadar, dan agak berat kalau targetnya dinaikkan.

Nasib memang tak mengenal iba. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Engkau lah kelas menengah dan bawah.

Don’t Judge Book by Its Cover

Soleh Solihun. Pekerja seni yang sekarang lebih dikenal sebagai komika. Memiliki perjalanan hidup yang unik. Dengan lika-liku perjalanan karirnya yang luar biasa. Pertama kali merintis kehidupan profesionalnya sebagai wartawan usai menamatkan kuliahnya, hingga sekarang, ia populer sebagai komika.

Saya suka dengan teori hidupnya: hidup ya jalanin aja.

Kita tahu tak semua anak beruntung sedari awal mengerti dan sadar akan atau ingin seperti apa di masa mendatang. Tak semua anak diberkati bakat yang lagi-lagi sedari dini ia ketahui akan berguna di kemudian harinya. Atau diberkahi orang tua yang sadar dan teguh menuntun bakat anaknya hingga anaknya dewasa, dan hidup dari bakatnya itu.

Lantas dari sebagian yang tak beruntung itu harus bagaimana?

Ada banyak teori hidup dari orang-orang sukses, dari banyak teori itu tentu cocok-tidaknya (jika diterapkan untuk orang lain) akan relatif hasilnya. Seperti halnya dalam teori menjalankan bisnis, antara Robert Kiyosaki dengan Warren Buffett, banyak perbedaannya. Tidak akan sama. Namun setidaknya dengan belajar dari banyak subjek yang berbeda, kita akan mendapat irisan-irisannya, bila kita pungut satu per satu dan rangkai akan sesuai dengan kita.

Begitu pula dengan teori hidup dari Soleh Solihun: hidup ya jalanin aja.

Bila anda gemar membaca buku-buku sufi, anda akan merasa bahwa teori hidup dari Soleh Solihun memiliki tingkat keimanan yang tinggi, dengan mengedepankan kepasrahannya. Meski tak sepenuhnya dapat anda telan begitu saja.

Mengenai pertanyaan saya sebelumnya, akan saya jawab dengan beberapa poin berharga yang saya dapat dari obrolan Soleh Solihun yang dipandu Wisnu Nugroho, dalam acara Beginu (Bukan Begini, Bukan Begitu) yang telah tayang 28 Oktober lalu.

Bagi sebagian yang tak beruntung itu, dalam hidup: Jangan mengejar target (ekspekatasi tinggi), nikmati hidup yang sekarang kita miliki, dan jangan berharap pada politisi.

Jangan mengejar target.

Mengenai jangan mengejar target, maksudnya jangan ngoyo.

Hidup memang berawal dari target, tapi jangan dibuat sebagai beban. Jadi, orientasi kita bukan pada hasil, tapi pada proses. Biar kita lebih enjoy dan menikmati proses.

Ingat Siddhartha Gautama, pelajaran yang ia dapatkan ketika mendapat pencerahan sempurnanya: “Bila senar kecapi ini dikencangkan, suaranya akan semakin tinggi. Kalau terlalu dikencangkan, putuslah senar kecapi ini, dan lenyaplah suara kecapi itu. Bila senar kecapi ini dikendorkan, suaranya akan semakin merendah. Kalau terlalu dikendorkan, maka lenyaplah suara kecapi itu. ”

Nikmati hidup yang sekarang kita miliki.

Hidup itu misteri, begitupun umur. Hidup yang kita jalani, ya sekarang ini. Bukan kemarin dan bukan besok. Jangan pernah takut akan masa depan, dan atau jangan pernah mengakhawatirkan tentang kejadian kemarin. Bukankah umur terlalu pendek untuk memikirkan hal-hal seperti itu.

Jangan berharap pada politisi.

“Jadi, loe memilih sisi entertainment karena tidak akan memiliki ruang untuk menyakiti orang lebih banyak, dan punya judgmentnya yang gak berdampak seacara luas”. Tanya Wisnu

“Iya, iya. Kalo misal gue bilang Slank musiknya bagus, tapi belakangan ada orang yang bilang musiknya gak bagus….yaudah. gak ada yang rugi juga dari karya yang dihasilkan musisi kalo jelek”. Ujar Saleh

Yah…seperti itulah obralan seru dari Soleh Solihun dan Wisnu Nugroho.

Mendekati akhir obrolan saya kutip ucapan Soleh yang mengena banget: “Hidup itu bukan untuk dipikirin, tapi dijalanin”.

Dan satu lagi yang membuat saya lebih menyukai sosok Soleh Solihun ini, di luar tampilannya yang seperti anak motor dan band, dia adalah sosok yang memegang teguh agamanya, hal ini tampak ketika dia menyampaikan pandangan agamanya (yang tak bisa dipandang remeh urusan keilmuannya) di sela-sela obrolan itu.

Jadi, don’t judge book by its cover.

Masa depan itu suci. Tak pernah ada yang tahu akan seperti apa nasib seseorang di kemudian hari. Tetap teruskan petualangan hidupmu kawan, mungkin kamu akan jumpai salah arah, asal tak lelah terus mencari, percayalah akan kau temui jalan baru, kawan.

Meminjam istilah Azrul Ananda, kalo Toyota punya Toyota Way, Way apa yang kamu punyai, kawan?

Salam, dan selamat Minggu malam…..

Andai Saja……

Rasa-rasanya, tiap dari kita pasti memiliki sesuatu kenangan yang membuat rindu akan masa kecil dulu. Sesuatu yang susah untuk kita lupakan, bahkan, sebagian mungkin mempengaruhi cara kita dalam menghadapi hidup sekarang ini.

Hampir umum zaman dulu, generasi milenial, mengisi akhirpekannya dengan menonton acara TV favorit. Kartun dan tontonan ringan lainnya.

Mungkin agak telat rasanya, saya diperkenalkan serial One Piece oleh teman seasrama saya dulu waktu kuliah. Sejak saat itu saya suka dan menggandrungi serial ini. Serial yang mengkisahkan petualangan luffi (tokoh utama) dan kawan-kawannya.

Mulai dari luffi kecil (atau yang lebih familiar dengan julukan si topi jerami) yang bermimpi ingin menjadi raja bajak laut karena terinspirasi Shank, hingga sekarang yang kisahnya makin pelik dan berliku.

Hari demi hari bertambah kuat. Hari demi hari bertambah bijaksana.

Oh ya, kita pasti tahu, tiap fase yang telah mereka lewati dengan bertambah kuat dan bijaksananya kru tersebut selalui didahului ujian (musuh-musuh) yang harus mereka lewati. Hingga sekarang, yang tiap naiknya fase makin tak mudah.

Entah kenapa, saya rasa jalan cerita yang disampaikan Oda (penulis serial ini) sedikit-banyak refleksi dari kehidupan nyata. Tentang pertemanan, pengkhianatan, taktik, dan strategi. Terkadang mengharukan dan sesekali banyolan.

Saya salut dengan dedikasi Oda, dari tahun 97 yang hingga sekarang masih serius dalam menggarap kisah petualangan si topi jerami itu. Gak ada kendurnya, selalu menjaga kualitasnya.

Tentang kualitas, banyak bukan manga yang awal ceritanya bagus, namun semakin hari semakin ambyar.

Tapi, kenapa One Piece?

Menurutku, serial one piece ini menghadirkan kisah yang padat penuh. Kita tidak dibiarkan untuk menghela nafas istirahat. Masalah hadir beruntun tanpa jeda, menunggu untuk diselesaikan, membuat kita menerka-nerka akan jadi apa selanjutnya.

Sensasi ini yang membuat saya, mungkin juga anda, selalu penasaran dengan episode selanjutnya.

Dari sebagian itu, ada yang membuat saya lebih jatuh hati pada serial ini. Khusunya tokoh Luffi. Ketika banyak yang lain ingin menjadi bajak laut agar kaya, dihormati, ditakuti dan lain sebagainya, berbeda dengan Luffi yang ingin menjadi raja bajak laut hanya agar dapat menjadi orang paling bebas mengarungi lautan. Tanpa tedeng aling-aling.

Serasa nothing to lose banget gitu.

Andai saja sifat Luffy ini ditiru beneran pembesar Negeri ini. Andai saja. Andai saja…..

Pelayan Kedai Kopi Kekinian

Minggu pagi itu, usai ibadah subuhnya, ia duduk di beranda belakang rumahnya. Menghirup uap secangkir teh yang sebelumnya ia seduh sambil ia minum pelan-pelan. Lalu, Ia memandang ke arah langit yang belum terang penuh. Mendengarkan kicau burung dan senandung bacaan Al-qur’an dari mushola dekat rumahnya.

Ia ingat keluh-kesahnya usai bangun dari tidur malamnya yang tak nyenyak tadi. “Tuhan kenapa Engkau selalu ciptakan orang tak mampu –tak mampu dalam berbagai bentuk hal–, kenapa tak Engkau ciptakan saja dunia yang sempurna, di mana semua orang bahagia?” –sambil tak sadar Tuhan ia dikte. Mungkin karena ia sudah muak dengan dunia yang berhari-hari dibisingi oleh kebencian –yang hilir-mudik ia dengar melalui siaran TV atau dengar di radio mobilnya atau baca di media sosial di gawainya.

Anandha, perempuan berumur 24 tahun itu, seorang pegawai swasta, bekerja untuk multinasional company, perusahaan minyak dan gas, menyukai permenungan. Bukan karena agar terlihat lebih terdidik, tapi permenungan membuatnya menjauh dari kerasnya hati untuk menerima isyarat Tuhan.

Ia ingat pernah membaca artikel yang ditulis GM, dalam Caping, yang mengutip Kant, bahwa penciptaan tak pernah usai. Pagi bukanlah serangkaian repetisi.

Setidaknya ia bisa bersyukur, pertanyaan penuh keluh itu datang ketika ia libur. Tidak di tengah laut atau hutan atau padang pasir yang biasa ia lakoni hari demi harinya.

Pengantar koran datang, ia tipe perempuan outschool yang masih mempertahankan kebiasaan lamanya, yang diturunkan dari Papanya. Mungkin karena itu dapat kadang-kadang mengobati rindu akan rumah orang tuanya di kampung.

Ia baca sepintas saja halaman-demi halaman, lalu berhenti sebentar di kolom opini, juga sepintas, lalu ia malas membacanya karena membaca saat itu tak memberikan jawab atas pertanyaannya tadi, pertanyaan tentang hidup. Hidup yang menurutnya tak sempurna ini.

Setelah beberapa seruput minum teh, gawainya berdering. Telepon dari mamanya, yang ingin mendengar kabar anak perempuanya. Sudah tiga minggu ini ia tak memberi kabar ke Mamanya, karena pekerjaannya, membuatnya lupa untuk memberikan kabar ke Mamanya. Selain mandiri, ia tipe perempuan yang fokus pada pekerjaannya.

“kabar kamu gimana, Nak?”

“Sehat, Ma. Maaf, Ma, kemarin ada extend roasternya. Jadi lupa ngabarin Mama.”

Sudah biasa sekali di dunia perminyakan, bila di oil field masih ada pekerjaan yang belum selesai, baik itu di bagian operasionalnya, di projectnya, di maintenancenya atau di facilitynya, mangharuskan extend roaster. Yang biasanya 2 minggu on dan 2 minggu off, jadi 3 minggu on dan 1 minggu off. Atau tergantung kebutuhan. Tak tertebak memang.

“Syukurlah, Nak. Tetep jaga kesehatan ya kalo gitu, jangan lupa ibadah ya.”

“Iya Ma.”

Setamat kuliah, ia memutuskan untuk hidup terpisah dengan orang tuanya. Berumah di kota tempatnya kuliah dulu. Ada hubungan tersendiri antara ia dan kota tempat kuliahnya, sehingga ia merasa tak bisa jauh-jauh dari kota itu. Meski ia bisa saja tinggal dan kembali ke rumah orang tuanya. Uang yang ia dapatkan selama bekerja 8 bulan, ia belikan rumah minimalis, yang sesuai dengan zamanya, cocok untuk perempuan bujang seperti dirinya.

Hari itu, ia ingin bersepeda. Keliling area sekitar perumahannya. Lama sekali ia tak menggunakan sepedanya, yang ia dapatkan dari mantan kekasihnya ketika ulang tahun ke 21.

Setelah beberapa kilometer, ia berhenti di salah satu kedai minuman atau tepatnya lebih ke cafe kekinian yang tebuat dari box container.

Yang menarik, dari lima pelayan café itu, satu orang merupakan bapak berumur kurang lebih lima pulahan, kontras sekali. Tak mungkin ia bertanya kepada bapak itu, saat itu, karena ia lihat bapak tadi sibuk melayani pembeli. Untuk membayar rasa penasarannya, ia tunggui kedai itu hingga sepi pembeli.

Usai sepi, ketika tepat pukul 12 lebih 13 menit, beberapa pelayan tadi istirahat dan makan secara bergantian, salah satunya bapak tadi.

“Kenalkan Bapak, saya Anandha.”

“Iya, ada yang bisa saya bantu Neng?”

“Tidak, Pak. Saya ingin bertanya saja, saya lihat bapak cekatan sekali kerjanya, dan bapak bisa kerja di sini itu bagaimana, karena kedai kopi kekinian seperti ini kan biasanya diisi oleh anak-anak muda.”

“Begini Neng, saya itu sebelumnya bekerja di pabrik. Setelah 30 tahun bekerja, saya dipensiunkan.”

“Apa uang pensiun sudah habis Pak?”

“Belum Neng.”

“Apa nilai pensiun Bapak kurang?”

“Bukan Neng. Tapi karena saya rasa, saya masih mampu dan masih memiliki energi untuk bekerja, saya harus maanfaatkan Neng, takutnya Tuhan ambil nikmat itu. Pas kebetulan saya dulu lewat jalan ini, lihat lowongan, akhirnya saya ajukan dan Mas Hafi –pemilik kedai—menerima saya.”

Anandha terdiam.

Ia ingat hangat teh pagi tadi. Ingat bacaan merdu Al-qur’an. Ia ingat kicau burung. Ia bersyukur berjumpa dengan Bapak itu. Seolah sebagai jawab untuk keluh kesahnya tadi pagi.

Setelahnya ia menutup obrolan itu dan pamit untuk pulang.

“Do’akan ya Neng, kedai ini ramai terus.” Ujar Bapak itu.

Di rumah, di taman kecil belakang rumahnya, ia berdo’a. Untuk seorang Bapak yang baru ia kenal tadi, tanpa sadar ia juga mendoakan kedai kopi itu. Tapi ia makin tahu Tuhan tak bisa diduga. Mungkin Ia pertama-tama adalah pengguncang hati. Selebihnya Penciptaan berjalan. Belum selesai.

~Tulisan ini diilhami dari tulisan GM yang berjudul “Sopir”

Kondang Merak, Tentang Berbuat Baik Yang tak Mengenal Jenis Agama

Naskah ini saya tulis menggunakan laptop. Padahal saya sekarang jarang sekali menulis menggunakan laptop. Alasannya sederhana, sebab lebih praktis menggunakan telepon genggam yang saya selalu bawa ke mana-mana. Karena keseharian saya banyak di kantor dengan pekerjaan yang berhubungan dengan energi, bukan kepenulisan.

Saya adalah tipe penulis yang menyelesaikan tulisan dengan beberapa kali menulis, paragraf demi paragraf hingga menjadi tulisan pepak, bukan tipe sekali duduk. Seperti halnya tulisan ini.

Tentang menghadiahi diri. Mungkin di tengah kesibukan yang menguras energi, upaya untuk memulihkan kembali semangat yang mulai kendur, surut dan kusut adalah dengan menghadiahi diri dengan berbagai hal kesukaan. Boleh dengan menyendiri mencari ketenangan diri, mendengarkan musik kesukaan, atau berpergian bersama teman.

Sabtu kemarin, keinginan berlibur bersama teman kantor setelah menunggu beberapa lama karena pembatasan, terkait kebijakan Covid-19, akhirnya dapat terwujud juga. Senang rasanya.

Kami, 12 orang berangkat menuju Malang Selatan. Tujuan kami ke pantai Kondang Merak. Sebagai perantau, setelah satu tahun lebih tinggal di Malang, saya jarang sekali piknik atau jalan-jalan ke tempat wisata yang ada di Malang. Untuk masalah ini, ke depan sudah saya jadwalkan untuk rencana main ke mana saja.

Jam telepon genggam menunjukkan pukul 06:47 ketika kami berangkat dari Malang kota. Beberapa dari kami tentu belum sarapan, bahkan ada yang belum mandi, namun tetap sikat gigi (tak lain penulis sendiri).

Untuk mengisi energi, antara Malang Kota dan Kondang Merak, kami mengisi perut di salah satu rumah makan sebagai sarapan kami. Tepatnya di daerah Kepanjen. Model warung prasmanan. Satu per satu dari kami mengambil makanan. Sampai pada salah seorang dari kami sampai di kasir, setelah selesai menghitung si kasir menanyakan minuman yang diiginkan, “teh hangat gak manis, karena manisnya udah di embaknya” ujar rekan kami menggoda. Si mbak tersipu dan aku tersenyum kecut melihatnya.

1ac968d6-3571-47e6-bb8a-38d27dd3fafe

Foto bersama di depan warung makan sebelum sarapan

Dari Malang kota untuk menuju ke Kondang Merak, anda bisa lewat jalan arah Blitar, melewati Kebon Agung, Kepanjen, Bantur dan nantinya akan bertemu jalan bercabang tiga, lurus ke Balekambang, ambil kanan akan ke Kondang Merak, sedangkan kalo ke kiri anda akan sampai ke Pantai Bajul Mati.

Malang kota hingga Bantur, jalanan lempang-lempang saja. Sedikit berliku dan menanjak seusai Bantur. Dan akan semakin sulit seusai pertigaan tadi. Jalan terjal berbatu karena belum diaspal.

Saya lihat truk-truk besar pembawa material hilir-mudik, karena project masih berjalan. Hal ini membuat ketika hujan mengguyur, akses mobil hanya sampai di pertigaan tadi. Karena akan sangat berbahaya bila dipaksakan. Jalanan licin berlumpur dan berbatu. Membuat mobil dan motor akan mudah tergelincir.

Karena berbatu, beberapa kali dasar mobil HiAce yang kami gunakan menyentuh batu jalan. Meski pengemudi sudah sebisa mungkin mengupayakannya untuk tidak mengenainya. Selain itu, ada beberapa kilometer jalan menanjak berbatu yang harus kami tempuh. Tak mudah memang, tapi akan terbayar ketika anda sampai di Kondang Merak. Pantai indah, bersih dan masih sepi pengunjung.

IMG_4588

Tour Guide Kami

Ya, sesuailah dengan kriteria spot wisata yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Bahkan ada beberapa tujuan yang harus kami tempuh dengan menyusuri pantai dan masuk hutan, berjalan kaki, rasanya seru dan menyenangkan sekali.

IMG_4640

Di Kondang Merak, sudah ada rekan kami yang sudah sampai, yang sebelumnya berangkat lebih dulu. Kebetulan juga rekan kami yang lebih dulu itu memiliki kerabat yang tinggal di situ, sehingga kudapan makan siang dan tempat sudah ia siapkan. Baik bukan? meski ia berbeda keyakinan dengan kami. Memang, berbuat baik tak mengenal jenis agama. Saya suka berkah hubungan keberagaman itu.

Mungkin, anda sedang merencanakan liburan, barangkali tulisan ini bisa sebagai rujukan tempat liburan anda.

Salam.

Petugas Penjaga Palang Pintu Perlintasan

Tak bisa dipungkiri, sejak Covid-19 banyak sektor industri terpukul. Bidang keuangan, fast moving, pariwisata begitu pun perhubungan.

Karena Covid-19, interaksi antar orang dibatasi. Dengan pembatasan, maka mobilitas dan aktivitas masyarakat akan berkurang. Sehingga, kebutuhan jasa transportasi umum juga akan turun signifikan.

Volume produksi di tempatku kerja juga begitu, tentu mengalami penurunan karena permintaan menurun. Dengan menurunnya volume output produksi, maka target perlu ditinjau ulang. Semua target, baik itu energi, maintenance cost dan lainnya. Semua harus dikurangi. Demi kelanjutan industri itu sendiri.

Mungkin begitulah hidup, bergerak tak tertebak. Hanya yang hati-hati dan waspada yang akhirnya bertahan.

Sepulang kerja kemarin, ada hal menarik yang kujumpai.

Di tempatku bekerja, dekat dengan perlintasan kereta api. Di situ, jalan yang tiap hari kulalui, selalu melewati palang pintun perlintasannya.

Pas sekali ketika hendak lewat, ada kereta yang akan melintas. Sambil menunggu aku mencoba mengamati sekitar. Pandanganku terpusat pada penjaga palang perlintasan.

Ia melihat dengan seksama, dari sisi satu ke sisi lain. Sebuah jalan raya yang dipisahkan sepasang palang pintu perlintasan. Sambil peluit ditiup dan salah satu tangannya menekan tombol berwarna merah. Aku rasa tombol itu berfungsi untuk memerintahkan palang pintu tersebut menutup. Sambil sebagian kepalanya keluar dari gedung berukuran tak kurang dua meter persegi, untuk memastikan kembali. Memastikan palang pintu itu sudah benar-benar tertutup dan tak ada pengendara yang menerobos.

Usai serentetan prosedur tadi berjalan dan telah dipastikan aman, ia keluar dari gedungnya, membawa senter. Senter tadi mengeluarkan cahaya putih menyilaukan. Aku rasa senter LED.

Sudah lama sekali aku tak pernah menggunakan moda transportasi itu, terakhir yang kuketahui biasanya petugas menenteng lampu dengan rumah lampu seperti lampu minyak jaman dulu, untuk memberikan isyarat ke masinis jika lokomotif bisa jalan dan area sudah aman.

Sudah banyak berubah ternyata.

Ia mengelipkan senter ke arah datangnya kereta sebanyak dua kali. Hidup-mati-hidup-mati. Mungkin sebagai tanda ke masinis jika area sudah aman untuk dilewati.

Selang beberapa detik, kereta pembawa bahan bakar itu lewat, sambil terdengar suara sirine dari lokomotifnya. Tanki-tanki yang dibawanya itu bertuliskan PERTAMINA. Kuhitung, 12 gerbong banyaknya.

Kurang dari lima menit, kereta tadi sudah benar-benar lewat. Deru mesinnya masih terdengar. Segera, palang pintu tadi membuka. Dan pengendara motor dan mobil kembali berjalan.

Aku jadi teringat momen masa lalu. Ketika untuk pertama kalinya aku keluar dari rumah, pergi, sendiri dengan kereta api ekonomi. Berbincang dengan orang-orang baru, membantu mengangkat koper penumpang lain, hingga saling mengucap salam perpisahan dengan orang yang baru kukenal sehari sebelumnya.

Ternyata aku tumbuh makin tua, namun apakah aku sudah menjadi dewasa. Entahlah.

Khutbah Transaksional

Dari sebagian hari dalam seminggu, Jum’at merupakan hari baik bagi umat muslim. Banyak riwayat yang menyebutkan itu. Biar sedikit ada usahanya, anda bisa mencari sendiri kenapa Jum’at dijadikan hari baik bagi kaum muslim.

Di hari Jum’at terdapat ibadah wajib bagi muslim laki-laki yang sudah baligh tanpa ada udzur, yaitu sholat Jum’at.

Di dalam ibadah sholat Jum’at ada syarat dan rukunnya. Salah satunya khutbah.

Khutbah, secara harfiah berarti ceramah atau pidato. Dalam fikih, khotbah diartikan dengan pidato dari seorang khotib yang diucapkan di depan jamaah sebelum shalat Jum’at atau setelah shalat Ied. Khutbah berisi tentang nasihat-nasihat guna mempertebal iman dan taqwa.

Di dalam khutbah ada beberapa sunnah, salah satunya yaitu Khatib dalam berkhutbah harus jelas, gampang dipahami, dan khutbahnya sedang yaitu tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.

Di beberapa Jum’at yang selama ini saya lalui, acap kali saya mendengar khutbah yang terlampau mengebu-gebu. Alih-alih menyampaikan khotbah yang solutif (meminjam istilah Bu Tedjo dalam filpen Tilik), khutbah yang disampaikan cenderung bias.

Seperti khutbah yang saya dengar Jum’at kemarin.

Di khutbah kemarin, Khotib menyampaikan bahwa habibie cerdas karena dia rajin puasa senin-kamis.

Alih-alih mendengarkan khutbah dengan khusuk, pikiran saya malah menerabas jauh ke depan dan beratanya-tanya. Saya rasa banyak bagian yang terpotong, sepenggal-sepenggal, dalam penyampaian khutbah tadi.

Puasa senin-kamis agar cerdas seperti Habibie.

Kurang elok (untuk tidak mengatakan sesat pikir) bila disampaikan di masjid yang saya rasa dapat beraneka macam simpulan makmumnya dengan apa yang ia sampaikan.

Seperti saya saat itu.

Saya malah berfikir seperti ini, semisal, dari khutbah tadi ada seseorang makmum yang tergugah, sehingga ia menjalankan rutin puasa senin-kamis, namun seiring berlalunya waktu apa yang disampaikan pengkhutbah tadi tak membuatnya realita. Bukan hanya ibarat dongen, dia bisa saja beralih pikir sehingga menyimpulkan bahwa pengkhutbah tadi pembohong, iya kalo dia hanya menunjuk perorangan, tapi bagaimna jika dia menjeneralkan hingga menganggap agama yg dibawakan tidak benar. Maklum bukan, di zaman yang serba instan ini, pun dalam hal mencerna penyampaian.

Di sinilah pengkhutbah baiknya moderat.

Bisa kan, bila uraian dari pokok bahasan lebih didiskripsikan seacara aktual. Semisal, kita tahu puasa mengharuskan kita untuk menahan nafsu. Menjaga untuk tidak makan, minum, menahan syahwat dan pikiran negatif selama waktu tertentu. Dengan proses itu kita diajarkan untuk senantiasa berfikir positif, dengan begitu fokus akan terbentuk. Selain itu puasa juga mengajarkan kita untuk lebih bersyukur, lebih peka kepada kondisi orang lain. Dengan itu kita bisa lebih lapang dalam menjalani hidup. Dengan kelapangan jiwa kita bisa melakukan sesuatu dengan ikhlas tanpa merasa terbebani. Dengan begitu hasil apapun yang Ä·ita dapat kita terima luas dada. Baik itu dalam bekerja, belajar dan lain sebagainya.

Terdengar lebih enak bukan.

Oh ya dan satu lagi, khutbah kok menurut saya enak dibawakan dengan nada lembut namun intonasi yang kuat. Bukan seperti mau perang. Oh, berarti pengkhutbah juga baiknya mengerti pembawaan/penyampaian materi. Oh ini usul saya aja. Moon maap bila terlampau mengatur. Boleh kan bila memberi masukan saja sebagai makmum, dan sebagai pendengar khutbah yang kurang baik ini.

Saya jadi teringat tulisan Fahmi Agustian dalam caknun.com, bahwa jika kita sudah benar-benar memiliki landasan cinta yang kuat, maka setiap laku ibadah kita kepada Allah pun secara sadar kita melakukannya bukan atas dasar pengharapan pahala dari Allah, bukan atas dasar transaksi mengharap agar ditempatkan di surga, melainkan atas kesadaran ungkapan rasa cinta yang mendalam dari seorang hamba kepada Allah yang telah menciptakannya.

Wallahu a’lam.

Berangkat Dari Tujuan

Aku rasa hidup ini ada karena tujuan. Asa hidup akan terus berpendar karena tujuan.

Bijaksana, bahagia, kaya, sejahtera, dan seterusnya. Adalah ragam tujuan manusia.

Adanya sekolah agar kita bisa lebih terdidik, dengan keterdidikan diharapkan kualitas hidup lebih baik.

Tiap orang memiliki nilai tujuan berbeda meski sedang menempuh proses yang sama. Sama-sama mengambil sekolah, lulus pasti menjadi keinginan semua yang bersekolah, namun setelah lulus itulah yang membedakannya.

Ketika anda punya tujuan, agar sampai, selain perlu usaha, juga butuh suatu proses lain yang mengiringi agar anda sampai di tujuan seefektif dan seselamat mungkin.

Begini, semisal anda ingin ke tempat A, sedangkan anda ada mobil dengan bensin tinggal lima liter. Target anda lima liter untuk sampai di A, entah bagaimana caranya. Dari sini, anda harus sudah punya daftar perlakuan apa saja ke mobil anda, agar sampai di A dan tidak kehabisan bensin di tengah jalan. Di sini anda bisa kurang-kurangin ngerem mendadak, tancap gas secara spotan (uhuiy, hehehe), dan hindarin hal-hal lain yang bikin boros bensin mobil.

Gak cukup di situ. Ketika di awal anda sudah ada bayangan untuk ngapain aja agar mobil gak makan banyak bensin selama perjalanan, namun, aktual di jalan anda nemuin kendala-kendala lain di luar bayangan awal, hal lumrah bukan. Lalu anda ada upaya ekstra lagi, yaitu mematikan AC agar lebih hemat lagi konsumsi bensinnya.

Jadi, aku tekankan lagi, tujuan anda sampai di A. Agar sampai di A, perlu rencana: kurang-kurangin rem dll. Di jalan ketemu kendala lagi, akhirnya anda melakukan peninjauan (evaluasi). Dari evaluasi/tinjauan itu anda melakukan mematikan AC (inisiatif).

Itu contoh sederhana. Siklus tersebut bisa diterapkan di model aktivitas yang lain. Anda bisa tetapin target, apapun itu. Kemudian anda implementasikan siklus tadi. Dari situ anda sudah menerapkan sebuah sistem management untuk mencapai target.

Sebuah sistem akan sangat krusial pada aktivitas-aktivitas yang membutuhkan perubahan-perubahan sangat cepat. Semisal ajang balap profesional. Temperatur, kecepatan angin, humidity, banyak sekali parameter yang dipantau dengan perubahan cepat. Salah pembacaan parameter, akan salah mengambil decision, salah decision menang-kalah taruhannya.

Akhirnya, itulah yang membedakan kita dengan makhluk lain. Kita diberi kelebihan, yaitu akal. Untuk berfikir. Agar dari setiap proses hidup yang kita lalui tidak berjalan bagitu saja. Ada usaha. Di agamaku dikenal sebgai “ikhtiar”. Agar selama proses hidup selalu mengarah ke yang lebih baik. Dan terus berbenah dari setiap proses.

Tetap bergerak, kawan. Mungkin akan salah jalan, juga. Tapi, asal ngotot dan berlari, dari jalan yang salah itu akan bertemu cabang jalan yang lain, bukan.

Selamat pagi dan selamat menikmati libur tahun baru Hijriyah.

Bukan Halaman, Bukan Brand, tapi DetEksi Way

Ditulis oleh: Azrul Ananda
Selasa 07 Februari 2012

 

DETEKSI sudah sepuluh tahun mewarnai Jawa Pos. It’s been a long journey! Saya sering ditanya, seperti apa masa depan halaman anak muda ini nanti. Jawaban saya konsisten: Entahlah!

Dulu, saya bangga karena DetEksi bisa merasakan dan mengeluarkan apa yang diinginkan anak muda. Karena anak muda selalu melihat ke depan, bilang, “Ayo bikin ini! Ayo ke sana! Ayo berbuat ini!”. Sementara yang tua selalu bilang, “Jangan ke situ! Hati-hati! Jangan aneh-aneh!”

Saya bangga karena bertahun-tahun bisa menangkap apa yang kira-kira disukai anak muda, lalu menerjemahkannya ke halaman atau kegiatan-kegiatan yang “mengena.”

Siapa sangka, lewat “cara DetEksi“, di Jawa Timur (Surabaya) sekarang ada kompetisi mading (yang bukan sekadar majalah dinding) yang begitu heboh, disaksikan hampir seratus ribu orang dalam sepuluh hari! Dan, di akhir tahun ini, even bernama DetEksi Convention itu memasuki tahun kesembilan!

Siapa sangka, lewat “cara DetEksi“, sekarang Indonesia punya liga basket pelajar yang sudah punya reputasi internasional. Pada 2004, muncul DetEksi Basketball League (DBL). Even ini tumbuh begitu dahsyat di Jawa Timur.

Mulai 2008, DBL pun berkembang ke provinsi-provinsi lain. Dan, tahun ini DBL mengunjungi 21 kota di 18 provinsi, dari Aceh sampai Papua. Tahun ini, bakal diikuti lebih dari 1.000 tim, dengan total sekitar 25 ribu peserta.

Bukan hanya itu, DBL menjadi liga pertama di Indonesia yang bekerja sama dengan NBA. Mungkin, DBL adalah liga pelajar pertama di dunia yang mengambil alih liga profesional! Sebab, mulai 2010 ini, DBL memang mengelola Indonesian Basketball League (IBL), liga tertinggi Indonesia yang belakangan terus mengalami kemerosotan.

Pengembangan itu bisa terwujud berkat didirikannya perusahaan spin-off dari halaman DetEksi: PT DBL Indonesia. Sebuah perusahaan yang memang fokus mengelola liga basket dan manajemen olahraga secara full time.

Baru-baru ini, DBL mendapat e-mail yang “menyentuh.” Ada penggemar DetEksi yang mengeluh dan mengkritik, mengapa DBL harus berganti nama menjadi “Development Basketball League” (nama DBL sekarang memang itu). Dia sedih karena kami dianggap mengabaikan nama DetEksi, yang rupanya begitu dia cintai.

Untuk dia dan DetEksiholic yang lain, jangan khawatir! Nama Development Basketball League harus kami gunakan untuk memudahkan pengembangan liga itu (khususnya secara internasional) di masa mendatang. Namun, nama “DetEksi” akan selalu ada di hati, bahkan di akta perusahaan!

PT DBL Indonesia merupakan kependekan dari PT DetEksi Basket Lintas Indonesia. Seluruh manajemennya adalah (dulu) anak-anak DetEksi yang ikut membesarkan halaman dan even-even DetEksi. Jadi, tetap DetEksi bukan?

DBL mungkin adalah proyek basket terbesar dalam sejarah Indonesia. DBL juga sebenarnya sudah menjadi liga olahraga terbesar di Indonesia, dalam cabang apa pun, pada level apa pun, setelah liga sepak bola nasional.

Itu dicapai secara profesional, memberikan kontribusi langsung kepada anak muda di berbagai penjuru Indonesia tanpa meminta-minta sumbangan pemerintah. Dan, itu semua bermula dari sebuah halaman koran!

DetEksi memang bukan lagi nama halaman koran. DetEksi juga bukan sekadar sebuah brand. DetEksi sudah menjadi way of thinking, way of doing things, way of life!

Kalau Toyota punya Toyota Way, kita punya DetEksi Way. Yaitu, mengerjakan sesuatu dengan sepenuh hati, menjadikan kritik sebagai pembakar semangat, mengubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin! Hahahaha….

***

Setiap tahun, sebenarnya saya juga semakin khawatir. Makin lama saya pasti makin tidak bisa “nyambung” dengan generasi DetEksi, yang setiap tahun berganti.

Beberapa tahun lalu dengan mudah saya bisa bermain-main dengan anak-anak SMA dan SMP, dan dengan penuh senyum menjawab panggilan mereka. Maklum, waktu itu mereka masih memanggil saya dengan sebutan “Mas” atau “Kak” atau “Ko.”

Belakangan, saya lebih sering menjawab panggilan sambil nyengir. Bagaimana tidak. Lha wong sekarang mulai dipanggil “Pak.” Dan, yang parah, ada anak-anak SMP yang mulai memanggil “Oom!”.

Glodak!

Secara definisi, saya memang sudah bukan anak muda lagi. Menurut definisi Kementerian Pemuda dan Olahraga, anak muda itu berusia 16 sampai 30. Saya lewat sedikit!

Masa melewati usia 30 itu juga sulit saya nikmati. Tahun saya melewati usia 30, banyak teman saya juga mencapai usia yang sama. Ada yang mengaku menangis, ada yang bengong. Ada teman saya yang bilang, “Selamat, kita sekarang lebih dekat ke akhir hidup daripada ke hari lahir.”

Dan saya sadar, saya akan semakin mirip dengan “tipologi orang tua” yang dulu saya lawan. Ketika menghadiri even-even DetEksi, saya semakin sering bilang, “Hati-hati Dik!” atau “Awas Dik!” atau “Jangan aneh-aneh ya, Dik!”

Saya juga lebih sering bicara soal masa lalu. “Dulu saya begini.” Atau “Dulu kita mengerjakannya begini.” Atau yang lain-lain yang bercerita tentang dulu. Termasuk di antaranya tulisan ini, yang lebih banyak bicara tentang dulu daripada masa depan.

Dengan kenyataan ini, saya pun menjadi sadar pula bahwa sayalah ancaman utama masa depan halaman DetEksi.

Tapi, dalam hati, saya bersyukur masih sadar akan kenyataan ini. Sebab, saya masih melihat banyak orang tua yang tidak sadar kalau dirinya sudah ketinggalan zaman!

Amit-amit jabang bayi, semoga saya kelak tidak seperti itu!

***

Mau ke mana DetEksi ke depan? Entahlah.

Sepuluh tahun sudah berlalu, sepuluh tahun (dan moga-moga lebih) masih dituju. Saya tidak akan mencoba terlalu memikirkannya.

Pada perayaan satu dekade DetEksi ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang pernah menjadi bagian dari DetEksi. Khususnya kru DetEksi, yang selama ini melawan kritik, terus menatap ke depan dan mengembangkan serta menularkan DetEksi Way.

Saya yakin, DetEksi akan terus berevolusi dalam tahun-tahun ke depan. Tantangan kru DetEksi sekarang (yang masih dikoordinasi “anak-anak” umur 20-an awal) berbeda dengan yang dulu.

Kalau dulu, tantangannya adalah membuktikan diri dan mementahkan kritik. Kalau nanti, tantangannya adalah menjaga tradisi dan melangkah ke jalan-jalan yang belum pernah dijalani, membuka pintu-pintu yang sebelumnya belum pernah ditemui.

Kadang mungkin akan salah jalan. Tapi, asal ngotot dan berlari, dari jalan yang salah itu akan bertemu cabang jalan yang lain. Kadang mungkin akan salah buka pintu. Tapi, asal serius dan konsekuen, pintu-pintu lain tetap tersedia.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Ayo terus melangkah menuju masa depan yang tidak pasti, dan semoga sepuluh tahun lagi ada cerita lebih hebat yang bisa diceritakan lagi.

Dan kelak, entah kapan, saya ingin bertemu dengan orang hebat kelas dunia, dalam hal apa pun, dan orang itu bilang ke saya, “Pak, waktu SMA dulu saya pembaca DetEksi, peserta even DetEksi.”

Kalau itu terwujud, itulah kontribusi DetEksi untuk dunia. Memberi inspirasi kepada anak-anak muda untuk mencapai hal-hal yang semula tidak pernah dibayangkan bisa dilakukan. Kalau ada satu saja tokoh dunia nanti yang muncul karena ini, hasil itu akan lebih hebat dari segala hal yang sudah dikerjakan DetEksi selama ini.

Ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan, anak muda yang secara langsung (atau tidak langsung) merasakan DetEksi Way setiap tahun. Saya yakin, pasti ada minimal satu berlian di antara mereka, yang kelak bisa mengubah dunia menjadi lebih baik lewat DetEksi Way! (habis)

PS: Setelah membaca ulang tulisan ini, bagian terakhirnya terasa seperti nasihat orang tua! Buat anak muda yang membaca, maaf ya. Buat orang tua yang membaca, bersiaplah. Karena sebentar lagi saya akan bergabung dengan klub Anda! Hahahaha…