Jelas ini bukan tentang aku, karena dari sisi umur aku belum berumur segitu. Ini tentang hubungan Ibuk sama Bapakku.
Ibuk dan Bapak terlahir dari dua budaya yang sangat berbeda.
Ibuk seorang introvet, pemalu dan tipe anak mama papa (meminjam istilah sekarang). Yang gak pernah berani keluar rumah sendirian. Selalu ada hal yang dikhawatirkannya, hingga sekarang.
Bapak seorang petualang, perantau, dan ektrovet akut. Masa mudanya habis di jalan. Jujur, ini dalam konteks positif, yaitu masa mudanya habis di jalan untuk mencari uang, karena Bapakku tidak terlahir dari orang tua kaya. Dan beliau anak sulung, yang mau gak mau dia juga harus bantu ayahnya untuk menghidupi keluarganya. Ini sebab (aku rasa) ia begitu tegas dan keras sampai sekarang. Karena dunia mendidiknya seperti itu, aku rasa.
Ibuk dan Bapak dipertemukan oleh sepupu jauh mereka. Gak ada hubungan pranikah yang lama. Jujur mengenai ini, aku gak pernah tanya, butuh berapa lama dari awal ketemu sampe menikah. Tapi aku rasa gak sampe tiga bulan. Aku juga heran bagaimana mereka saling percaya dengan waktu sesingkat itu. Temu. Lamar. Nikah.
Dengan kisah yang mereka jalani seperti itu, ternyata mereka (Ibuk dan Bapak) gak menyarankan untuk dilakuin di masa sekarang. Mereka tau, zaman bergulir dan berubah begitu drastis. Apa yang dulu bisa dilakuin, sekarang belum tentu bisa.
Mungkin, hanya segitu saja prolog tetang Ibuk Bapakku. Toh aku juga sebenarnya malas untuk ekspose latar belakang dan kehidupan pribadi keluargaku. Cuma aku ingin berbagi saja mengenai hubungan pernikahan yang sudah berumur 32 tahun itu. Yang bermula hanya dipertemukan sepupunya itu dan tanpa hubungan pranikah yang lama.
Apakah dari 32 tahun perjalanan pernikahan mereka damai-damai saja? Lempeng, lurus tanpa geronjal? Gak ada konflik?
Tentu tidak, tapi sepanjang pengetahuanku sampai sekarang, yang aku tahu, pernah terjadi konflik hebat, sekali. Ya, sekali. Waktu itu aku berumur 11 atau 12 tahun, atau lebih muda lagi ya, entahlah lupa pastinya berapa.
Pertengkaran yang bermula karena Ibuk membeli suatu barang yang saat itu belum bermanfaat betul fungsinya dengan harga yang tidak murah. Dan kebetulan kondisi ekonomi kami saat itu sedang tidak baik-baik saja. Belinya gak satu, tapi tiga sekaligus. Ditambah gak diskusi dulu dengan Bapak, sebelum beli. Jadi, jelas Bapak sebagai kepala rumah tangga, yang cari uang marah betul saat itu.
Baru kali itu aku tahu Bapak marah ke Ibuk (kalo ke aku jangan tanya lah ya :)). Hal yang sebelumnya belum pernah kudengar.
Apa yang saat itu aku dan abangku lakukan? Ada rasa traumatis kah atas kejadian itu?
Kami, saat itu terdiam membeku saja, karena baru pertama kali tahu Bapak marah ke Ibuk sebegitunya.
Untuk rasa traumatis, aku rasa gak ada. Karena marahnya Bapak saat itu hanya secara lisan, dengan nada tinggi saja, gak ada hujatan, kata-kata kotor ataupun kontak fisik juga saat itu.
Hal yang paling menarik (hikmah) yang bisa aku ambil dari kejadian itu adalah bagaimana mereka mengatasi masalah itu.
Bapak setelah pertengkaran itu hanya diam. Diam yang lama, seminggu lebih kalo gak salah. Gak ada kata yang muncul selama itu. Kami saat itu yo diam, toh juga gak tau gimana respons yang baik dari seorang anak ketika melihat orangtuanya bertengkar. Tapi meski dengan kemelut seperti itu, ia masih bisa bikinkan indomie buat aku dan abangku.
Sedangkan Ibuk, mencoba curhat ke abang dan ke aku, karena ketololan kami saat itu, gak ada timbal balik yang bisa kita berikan saat itu. Di sini aku merasa banyak hal yang seharusnya aku pelajari lebib awal dalam hal merespon curahan hati seseorang. Hal ini sangat aku sesali. Untung saat itu Ibuk menahan diri untuk tidak cerita ke Nenek atau tetangga. Mungkin akan beda jadinya.
Dari pertengkaran itu, aku masih melihat mereka masih sholat berjamaah bersama. Tapi, tetap suasana marah itu masih tampak dari perilaku mereka.
Setelah berhari-hari kondisi saling mendiam, tampak suatu sore mereka mulai ngobrol ringan. Kurasa saat itu suasana sudah mereda. Hingga sekarang aku gak pernah tanya siapa yang memulai komunikasi atau siapa yang minta maaf duluan. Yang jelas mereka tau cara menyelesaikan masalah mereka. Aku rasa Ibuk yang memulai percakapan terlebih dahulu, atau entahlah.
Sore tadi, setelah bertahun-tahun konflik itu, aku dengar gurauan mereka. Bermula dari bakda sholat ashar, aku lihat Ibuk (waktu aku ke kamar mandi basuh muka setelah tidur) yang bermukenah, duduk bersila sambil tubuh bagian atasnya (kepala hingga tangannya) ndlosor ke lantai. Sedang Bapak di sampingnya sedang merapal wirid, duduk tegak bersila.
Maghrib tadi, setelah buka, Bapakku meledek “hemm, perasaan tadi ada yang ngebisu sama lemes gak punya tenaga. Sekarang habis makan, nyerocos kayak Murai Batu habis santap belalang“.
Aku meringis, menahan tawa. Gak ngomong dan respons apa pun. Karena aku tipe orang yang gak banyak ngomong di rumah.
Mungkin tulisan ini akan kututup dengan kejadian lucu dari gak banyak omongnya aku di rumah.
Karena gak banyak omong, saking gak banyak omongnya kadang bingung sendiri untuk basa-basi memulai obrolan dengan keluarga. Pernah suatu sore saking bingungnya mulai percakapan dengan Bapak, aku malah tanya:
“Tinggal di mana Pak?”, hahahaha 🙂
Selamat sore, selamat berbuka puasa bagi yang menjalankan.