Bosan Sebagai Dialektika Hidup

Saya meyakini bahwa manusia itu diciptakan dari berbagai unsur. Salah satunya bosan.

Sejak saya pindah tempat kerja, ritme dan lama waktu bekerja saya berubah drastis. Yang sebelumnya hampir mustahil berlama-lama di kantor, sekarang sebaliknya. Tempat baru, atmosfer baru dan tantangan baru. Saya anggap sebagai dinamika hidup.

Selayaknya dinamika, tak mungkin untuk lempang terus, stabil terus, bahagia terus, gembira terus, namun sesekali juga bosan.

Bosan saya anggap sebagai rasa yang menyebalkan. Mengutip dari Wikipedia kebosanan didefinisikan sebagai keadaan emosional atau psikologis yang dialami saat seseorang dibiarkan tanpa sesuatu yang khusus dilakukan, tidak tertarik pada lingkungannya, atau merasa bahwa hari atau periode membosankan.

Oke, dari sini setidaknya saya bisa sedikit menarik kesimpulan bahwa kebosanan dapat muncul di kebiasaan rutin yang kita kerjakan.

Bosan itu bisa serupa kotoran pada aliran air. Sebagian akan mengendap, mengerak dan akhirnya menyumbat. Dan kita tahu sumbatan itu tak baik. Banyak masalah yang diakibatkan karena sumbatan. Stroke disebabkan oleh pembuluh darah yang tersumbat. Banjir disebabkan aliran sungai yang tak lancar karena tersumbat.

Bosan adalah salah satu penyakit yang menyeramkan bagi banyak orang. Bagi pekerja seperti saya, bagi seniman, bagi penulis dan mungkin yang lain. Bosan itu dapat menyumbat ide dan kreatifitas. Tanpa ide tak akan muncul hal baru. Tanpa kreatifitas saya rasa hidup akan semakin hambar dan kelabu.

Ketika bosan datang menyerang, ada banyak hal yang biasanya saya lakukan. Pergi ke coffee shop barang tiga puluh menit atau satu jam. Mendengarkan lagu kesukaan. Atau menyusuri jalanan. Pelan, menikmati dan merasakan semilir angin malam sambil menghayati tiap adegan kehidupan.

Entah mengapa setiap saya melakukan perjalan membunuh bosan, saya selalu berjumpa dengan potret-potret kehidupan yang menggetarkan. Pengemudi ojek daring yang tertidur di teras toko yang sudah tutup karena kelelahan seharian bekerja. Si kakek penjual kacang, singkong dan ubi rebus yang masih setia melempar senyum, tetap semangat dan bersyukur meski baru menjual dua-tiga bungkus jualannya. Dan setelah itu saya pikir hidup dan bosan yang sedang kukeluhkan sudah tidak lagi ada apa-apanya dibanding mereka, bapak ojek daring atau kakek penjual kacang rebus itu.

Menurut saya sungguh relevan sekali salah satu dialog dalam film 12 Strong. “The most important thing a man can take into combat is a reason why”.

Selamat menikmati akhir pekan anda ditemani mendung sore dan secangkir teh bersama keluarga tercinta.