Hal Bodoh

Saya sering melakukan hal bodoh. Baik yang ringan maupun yang fatal. Mulai dari mengirim email ke atasan atau orang dari departemen lain tanpa berfikir akibat setelahnya, atau membuat keputusan sepihak tanpa melihat jauhnya, atau hal-hal bodoh lainnya.

Bekerja di perusahaan yang menerapkan sistem management yang baik, membuat saya terus berbenah. Berbenah agar hal bodoh tidak berulang.

Dasar orangnya pekok. Udah tau apa-apa itu ya secukupnya. Begitupun dalam melakukan hal bodoh. Maka, pupuklah kebodohan secukupnya. Gak kurang dan gak lebih. hahaha

Tinggal di Malang

Kerap kali kita menjumpai pilihan rumit di sepanjang perjalanan hidup kita. Terkadang, perlu waktu singkat dan acap kali perlu waktu lama untuk kita memutuskan suatu pilihan itu. Alih-alih membuat keputusan, keraguan yang kita dapat. Bimbang dan rasa takut. Entah itu tentang pilihan pekerjaan, pendidikan, jodoh atau pun pilihan bertempat tinggal.

Hari ini, setahun lebih saya tinggal di Malang. Tentu sudah banyak pengalaman yang saya dapat sejauh ini, selama hidup di Malang. Tanjakan, turunan, lempang, berliku. Mungkin akan jadi banyak tulisan, bila saya rajin menuliskan kisah petualang di Malang ini. Tapi saya bukan tipe penulis yang rajin dan daya tahan menulis saya payah.

Saya, sejauh ini sudah mukim di beberapa tempat. Dengan kriteria lama mukim minimal tiga bulan, maka sudah ada Jombang, Depok, Pulau Pagerungan, Banten, dan Malang. Selain Jombang, karena sebagai tumpah darah. Pulau Pagerungan, karena akses sulit untuk ke sana. Maka, ada Malang yang menurutku merupakan tempat yang menyenangkan.

Kenapa?

Jujur, saya suka tempat dengan udara sejuk. Dan di Malang, hal itu saya dapatkan. Dengan letak kota yang dikelilingi bukit dan gunung-gunung membuat udara di sini sejuk. Untuk bulan-bulan tertentu akan lebih dingin. Untuk katagori kulit manusia tropis seperti saya ini, udara di Malang saya rasa masih nyaman untuk dinginnya.

Di Malang, pemandangnya juga luar biasa. Indah. Apalagi ketika hujan. Serasa waktu bergerak lambat sekali.

Selain alam, saya juga suka orang-orang Malang. Mungkin karena dibentuk dari latar belakang budaya yang sama. Sebagai “jawa”. Sebagai pribadi yang adaptif, di sepanjang bertempat tinggal di suatu wilayah, belum pernah saya secepat ini membangun lingkaran pertemanan.

Bagi sebagian orang, nyaman membuat betah. Saya juga begitu. Tapi, saya tidak menutup untuk hal baru, tempat baru, dan suasana baru.

Dengan segala kekurangan, saya harus terus berbenah. Dan akan terus berproses. Saya akan terus belajar dan terus mencoba. Dan bila nanti saya dihadapakan pada pilihan harus berpindah, Malang akan selalu menjadi mantan terindah. 🙂

Mr. Iglesias

Saya akan mengingatnya. Sebuah kutipan yang saya rasa cocok sebagai pengisi kembali semangat di kala ia seperti lampu neon yang hendak rusak. Redup.

Dengan bahasa yang sederhana, mampu menyampaikan pesan moral luar biasa.

“Thank you for believing in me, when i didn’t believe in myself” begitu bunyi penggalan kutipan dari Gabriel Iglesias. Seorang komedian Amerika Serikat.

Kutipan tersebut saya dapat dari sebuah serial TV yang ditayangkan oleh Netflix, dengan judul Mr. Iglesias.

Jika anda ingin menonton serial TV ringan dengan selipan komedi tanpa adegan “menyek-menyek”, hahaha. Saya sarankan untuk menontonnya, cocok sebagai pengisi akhir pekan anda. Serial yang mengangkat kisah dunia pendidikan di Amerika. Meski ringan tapi tetap sarat makna.

Musim pertama episode 1 dibuka dengan scene di dalam kelas, dengan materi sejarah. Suasana interaktif antara guru dan murid. Guru melempar pertanyaan, dan murid menimpalinya. Sungguh American style sekali. Selama saya belajar formal, saya belum pernah merasakan atmosfer seperti di serial TV tersebut. Murid-murid diajari kritis dalam berfikir dan berani menyampaikan pendapatnya. Hal yang jarang saya temui di “sini”.

Drama tanpa konflik, ibarat masakan tanpa penyedap. Kurang umami istilahnya. Begitu pula dalam serial Mr. Iglesias ini. Konflik terjadi, mana kala Mr. Iglesias mendapati beberapa murid di kelasnya mendapat surat karena “underperforming”. Mr. Iglesias berupaya keras untuk tetap mempertahankan murid-muridnya dari “counseled out” dan tekanan Assistant Principal.

Ternyata, sesempurna apapun sebuah sistem, pasti tetap meninggalkan celah. Tinggal seberapa jauh mau berbenah.

Di Amerika sana saja seperti itu, apalagi di kita.

Tak ada yang sia-sia dalam usaha memeperbaiki sistem pendidikan. Kita tak pernah tahu, dari bagian mana dari sebuah usaha di pendidikan yang dapat merubah seseorang.

Ingat, kita tak pernah tau nasib seseorang.

Salam. Selamat berakhir pekan.

Hai, Kelas Pekerja?

Hidup memang selalu tak ramah, bagi pengeluh dan pemalas.

Di tahun ketiga seusuai saya menamatkan perkuliahan, sebagaimana umumnya mantan mahasiswa, ada beberapa pilihan bagi saya: bekerja, lanjut kuliah, buka usaha atau “buka tenda”.

Untuk saya, pilihan pertama yang saya pilih.

Selama tiga tahun menyelami lautan perindustrian, saya sudah tiga kali pindah tempat kerja. Industri Oil & Gas, Power, dan sekarang FMCG (Fast Moving Consumer Good). Tentu ada kekurangan dan kelebihan dengan mudahnya pindah-pindah tempat saya bekerja. Untuk kekurangan mungkin orang menganggap saya sebagai “kutu loncat” (untung saya tak pernah peduli anggapan orang). Kelebihannya, tentu saya memperoleh pengalaman berbeda di setiap tempat saya bekerja, baik itu sistem management, people dan culture perusahaan.

Dengan pengalaman yang berbeda itu saya jadi memiliki cara pandang yang lebih luas. Dengan cara pandang lebih luas, mentalitas saya terbentuk. Ini banyak membantu saya dalam menghadapi persoalan-persoalan pelik. Seperti persoalan politik kantor, persoalan kemampuan, dan persoalan-persoalan yang lain.

Mengenai people, di ketiga tempat saya bekerja itu, setidaknya hampir selalu ada: Si positif, si pengeluh, si pencari muka, si pemalas dan si, si yang lain.

Di sini saya tidak akan mengelaborasi masing-masing karakter people di tempat kerja. Namun saya hanya ingin sedikit, ya sedikit saja, mengulas tentang pengeluh. Seseorang yang suka mengeluh di tempat kerja. Jujur, saya sendiri pun tidak sepenuhnya bebas dari mengeluh. Tapi saya berupaya untuk sedikit saja mengeluh, ya sedikit saja. Hahaha

Mengutip tulisan Pak Erizeli bahwa pengeluh itu tak lebih adalah kemalasan dan ingin hidup dibayar seperti budak, bukan atas dasar mutual simbiosis antara pekerja dan majikan. Kalau dia mengeluh atas pilihannya itu artinya dia secara spiritual memang tidak cerdas, atau mendekati kelainan jiwa. Seburuk apapun perlakuan pemerintah atau orang lain, mereka tetap menyalahkan diri sendiri kalau tidak bisa menghidupi dirinya sendiri.

Kutipan tersebut bisa salah dan tidak sepenuhnya memang benar, tapi itu cukup mewakili keadaan saya sekarang.

Ingat, mungkin bekerja merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan, namun lebih tidak menyenangkan lagi tidak bekerja.

Tetap bergerak, dan tetap bahagia. Salam.