Hukum Haji, Sebuah Perbincangan Saya dan Pak Ade Armando

Di suatu sore, di penungguan keberangkatan penerbangan, di tempat tunggu sebelum masuk gate, saya secara kebetulan bertemu Pak Ade Armando, Pemimpin Redaksi Madina Online dan Dosen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia.

Ini kali pertama saya bertemu dengan pak Ade yang sebelumnya saya hanya bisa bertemu secara searah dan tidak langsung ketika melihat beliau muncul di sebuah acara teve. Dan karenanya saya beranikan diri untuk berbincang dengan Pak Ade selagi menunggu waktu boarding kami.

Setelah perbicangan basi-basi saya dengan Pak Ade, saya langsung bertanya kepada beliau tentang pandangan beliau atas hukum haji dilihat dari kondisi negara sekarang yang belakangan mengganggu pikiran saya. Bagi Anda yang merasa bahwa hukum naik haji itu tak bisa ditawar dan Anda akan marah bila ada orang berusaha mengutak-atiknya, sebaiknya Anda berhenti membaca tulisan ini. Saya tidak ingin menyakiti hati Anda. Jadi daripada nanti Anda naik darah, sebaiknya Anda tinggalkan saja tulisan ini. Dan jika bagi anda yang penasaran dan ingin menela’ah dengan pikiran terbuka, berikut sebagian isi percakapan kami.

**********

Pak ade, Allah menurunkan sebuah hukum agar kita menjalankan roda kehidupan sejalan dengan sunnahtullah, lantas bagaimana jika hukum tersebut memberatkan kita karena tidak sesuai dengan konteks zaman?

Sebagian pihak mengatakan bahwa ada hukum Islam yang bisa disesuaikan dengan keadaan zaman tapi ada hukum yang bersifat kekal. Contoh yang pertama adalah besaran warisan. Contoh yang kedua adalah kewajiban shalat, puasa, dan tentu saja haji.

Saya menganggap kalau apa yang disebut sebagai hukum Tuhan itu bisa ditinjau kembali, maka semua hukum Tuhan harus bisa dibicarakan kembali. Saya percaya bahwa Allah menurunkan kitab suci itu sebagai panduan yang harus terus-menerus dibaca dengan rasional, kritis, dan ditujukan untuk kemaslahatan bersama. Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir dan kemampuan berpikir itu yang harus kita gunakan untuk menafsirkan apa yang dikehendaki Tuhan.

Saya tentu saja bukan ulama. Namun saya percaya kalau ajaran dan hukum Islam memang diciptakan Allah, maka hukum dan ajaran itu seharusnya membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas. Bila ajaran agama ternyata justru berkonsentrasi hanya pada kepentingan individu atau justru merugikan masyarakat, kita harus ragukan apakah ajaran agama itu memang datang dari Allah.

Ibadah haji merupakan rukun islam yang kelima, sebagai rukun penyempurnaan keislaman dari seseorang, jadi hukumnya wajib dengan syarat “bila mampu” baik dari segi dana, kesehatan dan kendaraan. Bagaimana menurut Bapak?

Dalam pandangan saya, yang bisa saja salah, pelaksanaan ibadah haji dan umrah di Indonesia tidak sejalan dengan upaya membangun kesejahteraan masyarakat miskin Indonesia.

Saya tahu bahwa dalam Al-Quran ada surah Ali Imran yang, antara lain, menyatakan bahwa: “… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan) semesta alam.” Saya juga tahu bahwa ada hadits yang menyatakan bahwa Islam dibangun atas lima perkara, dan salah satunya adalah naik haji.

Tapi itu tentu saja tak sendirinya berarti naik haji harus dilakukan umat Islam dengan mengabaikan konteks tempat dan waktu.

Lantas?

Naik haji adalah kewajiban bersyarat. Biasanya yang disebut adalah syarat ‘kalau mampu’. Namun sebenarnya penafsiran tentang ‘kalau mampu’ bisa menjadi sangat luas. Sebagai contoh, pertanyaan yang sering diajukan adalah: “Kalau seseorang memiliki dana cukup untuk naik haji tapi dia masih memiliki cicilan utang ke bank untuk membayar rumah atau masih memiliki anak yang biaya sekolahnya tinggi, apakah dia tetap wajib berangkat?”

Kalo menurut saya, tidak Pak.

Begitu juga negara bisa membuat aturan-aturan yang membatasi haji, misalnya, syarat kesehatan. Seseorang yang berniat haji tapi dianggap tidak sehat bisa dilarang untuk berhaji, walaupun syarat ini tidak ada dalam Al-Quran dan hadits.

Contoh lain lagi: pemerintah Arab Saudi berhak membatasi kuota haji Indonesia. Alasan utamanya adalah untuk mencegah jangan sampai jumlah jamaah haji terlampau banyak sehingga mengganggu proses pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Adakah aturan itu dalam Al-Quran dan hadits? Tentu tidak ada. Salahkah pemerintah Saudi? Tentu juga tidak. Yang penting pelarangan itu dilakukan dengan tujuan kepentingan masyarakat luas dan kepentingan jamaah haji itu sendiri.

Apa maksud Bapak tentang penjabaran tentang contoh-contoh tersebut?

Yang ingin saya tunjukkan dengan contoh-contoh itu adalah memang sangat terbuka kesempatan kita untuk menafsirkan ulang kewajiban berhaji.

Dalam kasus Indonesia saat ini, praktik haji dan umrah yang dilakukan terkesan menghabiskan dana yang sangat besar yang sebenarnya bisa digunakan untuk kepentingan membangun kesejahteraan masyarakat.

Kita gunakan saja sebuah kalkulasi minimalis. Untuk naik haji, uang minimal yang harus dikeluarkan seorang calon haji adalah sekitar 40 juta rupiah. Ini dengan perhitungan ongkos naik haji pada 2015 adalah Rp 36 juta. Jumlah jamaah haji Indonesia tahun 2015 adalah 168 ribu orang. Dengan demikian, dana total yang dikeluarkan untuk ibadah haji pada 2015 adalah Rp 6,720 triliun. Itu dengan tidak memperhitungkan ONH plus.

Lantas untuk umrah, biaya minimalnya per-orang adalah sekitar Rp 25 juta. Jumlah peserta umrah Indonesia pada 2015 diperkirakan 700 ribu jamaah. Dengan demikian dana total yang dikeluarkan untuk umrah adalah Rp 17,5 triliun.

Jadi, dengan perhitungan  minimalis saja, uang yang terserap untuk kegiatan haji dan umrah per-tahun adalah sekitar Rp 6,7 triliun plus Rp 17,5 triliun, yakni sekitar Rp 24 triliun. Kalau sekarang kita tambahkan lagi angka itu dengan belanja jamaah selama di tanah suci, plus biaya ONH plus dan perjalanan wisata maka tidak berlebihan kalau angka itu melonjak menjadi sekitar Rp 30 triliun.

Pertanyaannya, kalau dana itu digunakan untuk keperluan kesejahteraan masyarakat Indonesia, apa yang bisa dilakukan dengan Rp 30 triliun?

Wah, otak saya mulai buffering Pak.

Kita pakai contoh sederhana saja. Belanja pemerintah pusat untuk perumahan dan fasilitas umum pada 2015 adalah Rp 25,6 triliun. Atau untuk kesehatan adalah Rp 24,2 triliun. Itu semua bisa ditutup dengan uang haji.

Kalau pembangunan rumah sederhana adalah Rp 50 juta, maka bisa dibangun 600 ribu rumah. Bila biaya renovasi sekolah mencapai Rp 200 juta per-sekolah, maka ada 150 ribu sekolah direnovasi. Bila pembetonan jalan selebar 7 meter adalah Rp 8 miliar per-kilometer, dengan dana haji satu tahun itu, bisa dibangun jalan beton 3750 km.

Apakah bisa sesederhana itu Pak?

Ini semua memang sekadar simulasi. Namun apa yang ingin saya katakan, dana haji itu bisa digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang jelas membawa efek berkelanjutan yang akan menyehatkan ekonomi Indonesia dan membantu kesejahteraan rakyat Indonesia.

Kita harus ingat bahwa Indonesia bukan negara sejahtera. Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan miskin pada September 2014 mencapai 27,73 juta orang atau 10,96 persen dari penduduk Indonesia. Tapi tolong catat, itu yang hidup di bawah garis kemiskinan, alias harus hidup dengan pengeluaran Rp 312 ribu per-bulan (atau sekitar Rp 10 ribu per hari).

Adapun yang miskin jauh lebih besar dari itu. Menurut Bank Dunia, kalau perhitungannya adalah mereka yang berada dalam kelompok miskin (di bawah atau sedikit di atas garis kemiskinan), itu bisa mencapai 50 persen penduduk Indonesia.

Jadi kalau dana untuk haji dan umrah itu sedemikian raksasa sementara kaum miskin kita juga sedemikian besar, tidakkah logis kalau kita merelokasikan dana haji itu untuk membantu orang miskin?

Dan sikap ini adalah pilihan yang juga merujuk pada ayat-ayat Al-Quran serta hadits. Dalam Al-Quran berulang-ulang diingatkan kewajiban orang-orang yang beriman dan bertakwa untuk membantu anak yatim, orang miskin, orang yang meminta-minta, hamba sahaya (misalny,a Al-Baqarah: 177). Bahkan surah Al-Ma’un menggambarkan mereka yang menghardik anak yatim, tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dan tidak menolong orang yang membutuhkan sebagai orang-orang ‘celaka’ yang ‘mendustakan hari pembalasan’. Dalam Al-Muddatsir (42-44), dinyatakan bahwa orang yang masuk ke neraka Saqar adalah mereka yang kikir, tidak memberi makan orang miskin dan tidak memuliakan anak yatim.

Bahkan ada sebuah hadits terkenal yang berbunyi: “Bukanlah dari kalangan orang yang beriman, apabila ia dalam keadaan kenyang, sedangkan tetangganya dalam kelaparan.”

Wah, benar sekali itu pak. Namun, apakah dapat diterapkan untuk memberi secara perorangan, Indonesia kan luas pak?

Dalam konteks Indonesia saat ini, membantu kaum miskin ini tentu saja tidak cukup dengan memberi sedekah secara perorangan. Yang diperlukan adalah upaya kolektif umat Islam untuk mengefektifkan dana yang mereka miliki untuk kepentingan masyarakat luas, terutama kaum miskin dan papa.

Karena itu kampanye yang harus dilakukan adalah bukan dorongan agar umat Islam menyegerakan naik haji tapi dorongan agar umat Islam menyumbangkan dana untuk membantu kaum miskin di lingkungan perumahan mereka, membantu pembangunan sarana publik, membantu kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang pro orang miskin, ikut mendanai pembangunan sekolah orang miskin, memberi beasiswa, membantu pembiayaan pelayanan kesehatan kaum miskin, menyumbang bagi LSM-LSM yang jelas-jelas membela kaum miskin, mendanai LSM atau gerakan anti-korupsi, mendanai gerakan pelayanan hukum bagi kaum papa,  membantu koperasi tani agar mereka tidak terjerat lintah darat, dan sebagainya, dan sebagainya.

Apalagi dalam kondisi ekonomi nasional yang sulit sekarang ini, menjadi terlihat semakin tidak pantas bila umat Islam terus menghabiskan dana puluhan triliun untuk kepentingan ibadah personal. Umat Islam harus berhemat dan pandai-pandai memanfaatkan uang yang ada untuk kepentingan bersama. Membantu orang miskin itu bukan urusan negara, melainkan urusan kita semua.

Dalam konteks itulah, saya menganggap mungkin sebaiknya umat Islam saat ini tidak perlu menganggap naik haji sebagai kewajiban apalagi disertai dengan berumrah yang berkali-kali. Bila umat Islam mau, Indonesia bisa sejahtera. Ini kalau mau.

 

 

(Tulisan ini saya jiplak dari tulisan Pak Ade Armando berjudul: Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat Ini)