Khutbah Transaksional

Dari sebagian hari dalam seminggu, Jum’at merupakan hari baik bagi umat muslim. Banyak riwayat yang menyebutkan itu. Biar sedikit ada usahanya, anda bisa mencari sendiri kenapa Jum’at dijadikan hari baik bagi kaum muslim.

Di hari Jum’at terdapat ibadah wajib bagi muslim laki-laki yang sudah baligh tanpa ada udzur, yaitu sholat Jum’at.

Di dalam ibadah sholat Jum’at ada syarat dan rukunnya. Salah satunya khutbah.

Khutbah, secara harfiah berarti ceramah atau pidato. Dalam fikih, khotbah diartikan dengan pidato dari seorang khotib yang diucapkan di depan jamaah sebelum shalat Jum’at atau setelah shalat Ied. Khutbah berisi tentang nasihat-nasihat guna mempertebal iman dan taqwa.

Di dalam khutbah ada beberapa sunnah, salah satunya yaitu Khatib dalam berkhutbah harus jelas, gampang dipahami, dan khutbahnya sedang yaitu tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek.

Di beberapa Jum’at yang selama ini saya lalui, acap kali saya mendengar khutbah yang terlampau mengebu-gebu. Alih-alih menyampaikan khotbah yang solutif (meminjam istilah Bu Tedjo dalam filpen Tilik), khutbah yang disampaikan cenderung bias.

Seperti khutbah yang saya dengar Jum’at kemarin.

Di khutbah kemarin, Khotib menyampaikan bahwa habibie cerdas karena dia rajin puasa senin-kamis.

Alih-alih mendengarkan khutbah dengan khusuk, pikiran saya malah menerabas jauh ke depan dan beratanya-tanya. Saya rasa banyak bagian yang terpotong, sepenggal-sepenggal, dalam penyampaian khutbah tadi.

Puasa senin-kamis agar cerdas seperti Habibie.

Kurang elok (untuk tidak mengatakan sesat pikir) bila disampaikan di masjid yang saya rasa dapat beraneka macam simpulan makmumnya dengan apa yang ia sampaikan.

Seperti saya saat itu.

Saya malah berfikir seperti ini, semisal, dari khutbah tadi ada seseorang makmum yang tergugah, sehingga ia menjalankan rutin puasa senin-kamis, namun seiring berlalunya waktu apa yang disampaikan pengkhutbah tadi tak membuatnya realita. Bukan hanya ibarat dongen, dia bisa saja beralih pikir sehingga menyimpulkan bahwa pengkhutbah tadi pembohong, iya kalo dia hanya menunjuk perorangan, tapi bagaimna jika dia menjeneralkan hingga menganggap agama yg dibawakan tidak benar. Maklum bukan, di zaman yang serba instan ini, pun dalam hal mencerna penyampaian.

Di sinilah pengkhutbah baiknya moderat.

Bisa kan, bila uraian dari pokok bahasan lebih didiskripsikan seacara aktual. Semisal, kita tahu puasa mengharuskan kita untuk menahan nafsu. Menjaga untuk tidak makan, minum, menahan syahwat dan pikiran negatif selama waktu tertentu. Dengan proses itu kita diajarkan untuk senantiasa berfikir positif, dengan begitu fokus akan terbentuk. Selain itu puasa juga mengajarkan kita untuk lebih bersyukur, lebih peka kepada kondisi orang lain. Dengan itu kita bisa lebih lapang dalam menjalani hidup. Dengan kelapangan jiwa kita bisa melakukan sesuatu dengan ikhlas tanpa merasa terbebani. Dengan begitu hasil apapun yang ķita dapat kita terima luas dada. Baik itu dalam bekerja, belajar dan lain sebagainya.

Terdengar lebih enak bukan.

Oh ya dan satu lagi, khutbah kok menurut saya enak dibawakan dengan nada lembut namun intonasi yang kuat. Bukan seperti mau perang. Oh, berarti pengkhutbah juga baiknya mengerti pembawaan/penyampaian materi. Oh ini usul saya aja. Moon maap bila terlampau mengatur. Boleh kan bila memberi masukan saja sebagai makmum, dan sebagai pendengar khutbah yang kurang baik ini.

Saya jadi teringat tulisan Fahmi Agustian dalam caknun.com, bahwa jika kita sudah benar-benar memiliki landasan cinta yang kuat, maka setiap laku ibadah kita kepada Allah pun secara sadar kita melakukannya bukan atas dasar pengharapan pahala dari Allah, bukan atas dasar transaksi mengharap agar ditempatkan di surga, melainkan atas kesadaran ungkapan rasa cinta yang mendalam dari seorang hamba kepada Allah yang telah menciptakannya.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan komentar