Lelaki Tua Yang Sedang Mencatat

“Tampaknya anda sendiri, boleh saya duduk di sini?” Tanyaku ketika melihat lelaki berumur enampuluhan itu.

“Oh, ya. Boleh. Silahkan.”

Saya duduk, kemudian menyedot es kopi susu gula aren yang telah saya beli dekat parkiran motor sebelumnya.

Sedikit mencuri pandangan, saya dapati lelaki tua tadi sedang menulis catatan, ditulisnya di buku yang saya rasa menggunakan kertas premium, berwarna coklat kekuningan dengan sampul kulit warna gelap.

“Malang di bulan-bulan seperti ini udaranya dingin.” Saya mencoba memancing pembicaraan.

Lelaki tua tadi menghentikan aktivitas menulisnya, dan menutup bukunya.

“Dik, pada bulan Juli hingga Agustus adalah musim kemarau. Ketika kemarau tingkat penguapan air lebih tinggi. Sehingga atmosfer bagian atas bumi dipenuhi uap air, kondisi ini akan menghalangi energi panas matahari sampai ke lapisan bawah atmosfer Bumi. Jadi, tak khayal bila udara terasa lebih dingin, namun tingkat kelembapannya rendah.”

Saya mengangguk-anggukkan kepala isyarat setuju dengan apa yang disampaikannya.

“Bapak pengajar ya?”

“Bukan, dik. Saya jurnalis.”

“Maaf Pak, melihat penjelasan yang anda sampaikan tadi, saya kira anda pengajar” Jawabku.

“Tak apa, dik.”

“Adik tinggal di sini?”

“Oh, tidak Pak. Saya pendatang.”

Lelaki tua itu masih tampak enerjik. Berkacamata tebal dengan topi fedornya. Tinggi kurang lebih seratus enampulahan senti dengan kulit sawo matang.

Cara berbicaranya pelan dan suaranya dalam. Seperti suara tokoh utama film 12 Strong. Meski tubuhnya kecil.

“Adik berasal dari Kalimantan ya?”

Mungkin karena melihat fisik saya yang keoriental-orientalan mirip suku Dayak.

“Ndak Pak. Saya dari Jombang.”

Sambil saya pandangi dia. Tampak dia sedang mengambil nafas panjang, dan tampak ia sedang menyusun kalimatnya.

“Ketika seumuranmu dulu, dik. Aku sudah keliling ke beberapa daerah di Indonesia dan sebagian juga ke luar negeri. Untuk tugas kerja”

Meski bukan yang terbanyak, namun tidak pula dapat dikatakan sedikit daerah-daerah yang telah ia kunjungi.

“Setalah beberapa tahun berproses ikut orang di sebuah industri percetakan, saya akhirnya memimpin sebuah industri media sendiri.”

Saya terus mendengarkannya berbicara. Hubungan kami saat itu tampak seperti seorang kakek yang sedang mendongeng untuk cucunya.

“Kala itu, aku sudah berkuarga. Ada istri dan anak yang harus kuhidupi.”

“Kondisi saat itu tak mudah, dik. Aku bekerja setiap hari tak kurang dari enambelas jam. Dan paling cepat pulang jam satu malam.”

Kalimat demi kalimat terus mengalir dari mulutnya.

“Kadang aku bertanya, benarkah jalan hidup yang kupilih ini. Aku yakin. Dan aku terus bergerak”

“Tahukah kamu, dik. Pada akhirnya seorang laki-laki dewasa harus mengambil sebuah pilihan. Meski, tidak dihargai, tidak diapresiasi atau bahkan tidak dicintai. Semata-mata hanya demi keluarga.”

“Sekarang, anak-anaku sudah besar dan berkeluarga. Aku biarkan mereka tumbuh dengan diskripsi perspektifnya masing-masing tentang aku. Tentang Bapaknya. Dan aku tetap menghargainya.”

Aku terus mencerna apa yang ia sampaikan. Dia mulai melihat jam tangannya.

“Sudah dulu ya, dik. Aku mau meneruskan perjalanan.”

“Oh, ya Pak. Terima kasih atas ceritanya.”

Kemudian dia berdiri dan berjalan menjauhiku, sambil terus kupandangi. Tampak dia masuk ke mobil Toyota Land Cruiser warna hitam. Mobil dengan pelat polisi berhuruf depan W dan satu huruf rangkaian belakangnya N yang saya ingat, dan sisanya aku lupa.

Hal Bodoh

Saya sering melakukan hal bodoh. Baik yang ringan maupun yang fatal. Mulai dari mengirim email ke atasan atau orang dari departemen lain tanpa berfikir akibat setelahnya, atau membuat keputusan sepihak tanpa melihat jauhnya, atau hal-hal bodoh lainnya.

Bekerja di perusahaan yang menerapkan sistem management yang baik, membuat saya terus berbenah. Berbenah agar hal bodoh tidak berulang.

Dasar orangnya pekok. Udah tau apa-apa itu ya secukupnya. Begitupun dalam melakukan hal bodoh. Maka, pupuklah kebodohan secukupnya. Gak kurang dan gak lebih. hahaha

Tinggal di Malang

Kerap kali kita menjumpai pilihan rumit di sepanjang perjalanan hidup kita. Terkadang, perlu waktu singkat dan acap kali perlu waktu lama untuk kita memutuskan suatu pilihan itu. Alih-alih membuat keputusan, keraguan yang kita dapat. Bimbang dan rasa takut. Entah itu tentang pilihan pekerjaan, pendidikan, jodoh atau pun pilihan bertempat tinggal.

Hari ini, setahun lebih saya tinggal di Malang. Tentu sudah banyak pengalaman yang saya dapat sejauh ini, selama hidup di Malang. Tanjakan, turunan, lempang, berliku. Mungkin akan jadi banyak tulisan, bila saya rajin menuliskan kisah petualang di Malang ini. Tapi saya bukan tipe penulis yang rajin dan daya tahan menulis saya payah.

Saya, sejauh ini sudah mukim di beberapa tempat. Dengan kriteria lama mukim minimal tiga bulan, maka sudah ada Jombang, Depok, Pulau Pagerungan, Banten, dan Malang. Selain Jombang, karena sebagai tumpah darah. Pulau Pagerungan, karena akses sulit untuk ke sana. Maka, ada Malang yang menurutku merupakan tempat yang menyenangkan.

Kenapa?

Jujur, saya suka tempat dengan udara sejuk. Dan di Malang, hal itu saya dapatkan. Dengan letak kota yang dikelilingi bukit dan gunung-gunung membuat udara di sini sejuk. Untuk bulan-bulan tertentu akan lebih dingin. Untuk katagori kulit manusia tropis seperti saya ini, udara di Malang saya rasa masih nyaman untuk dinginnya.

Di Malang, pemandangnya juga luar biasa. Indah. Apalagi ketika hujan. Serasa waktu bergerak lambat sekali.

Selain alam, saya juga suka orang-orang Malang. Mungkin karena dibentuk dari latar belakang budaya yang sama. Sebagai “jawa”. Sebagai pribadi yang adaptif, di sepanjang bertempat tinggal di suatu wilayah, belum pernah saya secepat ini membangun lingkaran pertemanan.

Bagi sebagian orang, nyaman membuat betah. Saya juga begitu. Tapi, saya tidak menutup untuk hal baru, tempat baru, dan suasana baru.

Dengan segala kekurangan, saya harus terus berbenah. Dan akan terus berproses. Saya akan terus belajar dan terus mencoba. Dan bila nanti saya dihadapakan pada pilihan harus berpindah, Malang akan selalu menjadi mantan terindah. 🙂

Mr. Iglesias

Saya akan mengingatnya. Sebuah kutipan yang saya rasa cocok sebagai pengisi kembali semangat di kala ia seperti lampu neon yang hendak rusak. Redup.

Dengan bahasa yang sederhana, mampu menyampaikan pesan moral luar biasa.

“Thank you for believing in me, when i didn’t believe in myself” begitu bunyi penggalan kutipan dari Gabriel Iglesias. Seorang komedian Amerika Serikat.

Kutipan tersebut saya dapat dari sebuah serial TV yang ditayangkan oleh Netflix, dengan judul Mr. Iglesias.

Jika anda ingin menonton serial TV ringan dengan selipan komedi tanpa adegan “menyek-menyek”, hahaha. Saya sarankan untuk menontonnya, cocok sebagai pengisi akhir pekan anda. Serial yang mengangkat kisah dunia pendidikan di Amerika. Meski ringan tapi tetap sarat makna.

Musim pertama episode 1 dibuka dengan scene di dalam kelas, dengan materi sejarah. Suasana interaktif antara guru dan murid. Guru melempar pertanyaan, dan murid menimpalinya. Sungguh American style sekali. Selama saya belajar formal, saya belum pernah merasakan atmosfer seperti di serial TV tersebut. Murid-murid diajari kritis dalam berfikir dan berani menyampaikan pendapatnya. Hal yang jarang saya temui di “sini”.

Drama tanpa konflik, ibarat masakan tanpa penyedap. Kurang umami istilahnya. Begitu pula dalam serial Mr. Iglesias ini. Konflik terjadi, mana kala Mr. Iglesias mendapati beberapa murid di kelasnya mendapat surat karena “underperforming”. Mr. Iglesias berupaya keras untuk tetap mempertahankan murid-muridnya dari “counseled out” dan tekanan Assistant Principal.

Ternyata, sesempurna apapun sebuah sistem, pasti tetap meninggalkan celah. Tinggal seberapa jauh mau berbenah.

Di Amerika sana saja seperti itu, apalagi di kita.

Tak ada yang sia-sia dalam usaha memeperbaiki sistem pendidikan. Kita tak pernah tahu, dari bagian mana dari sebuah usaha di pendidikan yang dapat merubah seseorang.

Ingat, kita tak pernah tau nasib seseorang.

Salam. Selamat berakhir pekan.

Hai, Kelas Pekerja?

Hidup memang selalu tak ramah, bagi pengeluh dan pemalas.

Di tahun ketiga seusuai saya menamatkan perkuliahan, sebagaimana umumnya mantan mahasiswa, ada beberapa pilihan bagi saya: bekerja, lanjut kuliah, buka usaha atau “buka tenda”.

Untuk saya, pilihan pertama yang saya pilih.

Selama tiga tahun menyelami lautan perindustrian, saya sudah tiga kali pindah tempat kerja. Industri Oil & Gas, Power, dan sekarang FMCG (Fast Moving Consumer Good). Tentu ada kekurangan dan kelebihan dengan mudahnya pindah-pindah tempat saya bekerja. Untuk kekurangan mungkin orang menganggap saya sebagai “kutu loncat” (untung saya tak pernah peduli anggapan orang). Kelebihannya, tentu saya memperoleh pengalaman berbeda di setiap tempat saya bekerja, baik itu sistem management, people dan culture perusahaan.

Dengan pengalaman yang berbeda itu saya jadi memiliki cara pandang yang lebih luas. Dengan cara pandang lebih luas, mentalitas saya terbentuk. Ini banyak membantu saya dalam menghadapi persoalan-persoalan pelik. Seperti persoalan politik kantor, persoalan kemampuan, dan persoalan-persoalan yang lain.

Mengenai people, di ketiga tempat saya bekerja itu, setidaknya hampir selalu ada: Si positif, si pengeluh, si pencari muka, si pemalas dan si, si yang lain.

Di sini saya tidak akan mengelaborasi masing-masing karakter people di tempat kerja. Namun saya hanya ingin sedikit, ya sedikit saja, mengulas tentang pengeluh. Seseorang yang suka mengeluh di tempat kerja. Jujur, saya sendiri pun tidak sepenuhnya bebas dari mengeluh. Tapi saya berupaya untuk sedikit saja mengeluh, ya sedikit saja. Hahaha

Mengutip tulisan Pak Erizeli bahwa pengeluh itu tak lebih adalah kemalasan dan ingin hidup dibayar seperti budak, bukan atas dasar mutual simbiosis antara pekerja dan majikan. Kalau dia mengeluh atas pilihannya itu artinya dia secara spiritual memang tidak cerdas, atau mendekati kelainan jiwa. Seburuk apapun perlakuan pemerintah atau orang lain, mereka tetap menyalahkan diri sendiri kalau tidak bisa menghidupi dirinya sendiri.

Kutipan tersebut bisa salah dan tidak sepenuhnya memang benar, tapi itu cukup mewakili keadaan saya sekarang.

Ingat, mungkin bekerja merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan, namun lebih tidak menyenangkan lagi tidak bekerja.

Tetap bergerak, dan tetap bahagia. Salam.

Menulis (Bagian 2)

Saya ini orangnya biasa-biasa saja, tidak terlahir sebagai cerdas-cendikiawan atau memiliki daya ingat kuat. Karena pasrah bukan karakter saya ketika belum ada usaha. Tentu, upaya-upaya saya lakukan demi mengatasi kekurangan itu.

Karena tidak cerdas, maka saya harus banyak belajar, tentu harus secara konsisten dan disiplin, meski keadaan aktual di lapangan bisa sangat berbeda sekali :). Karena tidak memiliki daya ingat yang kuat, maka saya harus memiliki cara agar hal-hal luar biasa yang pernah saya lalui atau berharga itu tidak amblas ditekan beribu tumpukan beban receh di dalam kepala saya.

Sangat disayangkan sekali bila momen di mana saya dan saudara saya berebut mandi di kamar mandi yang lebih besar di rumah kami ketika pagi menjelang berangkat sekolah, momen di mana sebelum berangkat sekolah kami harus menukar uang jajan dulu karena uang jajan yang diberikan orang tua kami bukan berbentuk pecahan untuk dibagi sama rata, terlupa begitu saja.

Sungguh saya tidak ingin melupakannya. Kapanpun. Jadi, saya harus mencari cara, dengan apa? Untuk sekarang ini yang saya tahu ya, menulis. Cara yang paling sederhana. Menurutku.

Menulis merupakan salah satu cara saya dalam mengamankan kenangan berharga itu, sekaligus sebagai media berlatih saya. Ingat, ketika menulis secara tidak langsung kita menceritakan kembali apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasa. Kemudian kita salin ulang dari apa yang ada di pikiran ke selembar kertas atau digital. Banyak bagian yang bekerja ketika proses itu berjalan, panca indera, daya ingat dan tentu saja motorik kita.

Jujur, selain menulis di blog, saya banyak meninggalkan tulisan di profesional book, di kertas note, di aplikasi catatan ponsel pintar saya, dan banyak lagi. Tentu tidak di sembarang tempat, karena saya mengerti betul makna vandalisme. Mungkin pengecualian saja ketika saya masih remaja dulu. Saya anggap sebagai dosa masa lalu saya :(. Untuk ini, semoga Tuhan dan manusia yang saya rugikan itu memaafkan.

Sebagai penutup, saya kutip ungkapan Pak Hairus Salim.

“Menulis sajalah. Tidak usah terlalu mikir soal bagus apa enggak. Kita tidak pernah benar-benar tahu tulisan kita yang mana yang bisa menggerakkan hati orang.”

Selamat malam. Dari manusia keras kepala yang sedang berbenah. Tabik.

Lebaran Kali Ini

Lebaran kali ini terasa berbeda. Untuk saya pribadi pun, banyak sesuatu yang rutin pasti saya lakukan tidak saya kerjakan. Sholat Ied dan halal bi halal ke tetanga, semisal.

Pagi ini saya bangun agak siangan, kami sekeluarga tidak Sholat Ied (kecuali bapak), dan hanya bersilaturahim ke rumah nenek saja untuk sungkem-sungkeman dengan nenek, meski dari keluarga saya sendiri tidak open house maupun rumah nenek (hanya menerima anak-cucunya saja).

Saya tidak ingin terlarut terlalu lama dengan keadaan seperti ini, bukan karakter saya untuk larut berlama-lama. Tuhan mungkin sedang ingin menguji agak lama kita semua. Kita jadi mengerti, dalam hidup ini tidak ada yang baku dan pasti.

Sebagai momen yang jarang-jarang terjadi, saya ingin setidaknya memgambil pelajaran hidup dari lebaran kali ini. Setidaknya dengan tulisan ini saya ingin merefleksikan apa yang saya pikirkan, dan ingin berbagi kepada anda semua.

Momen lebaran selalu membawa suasana bahagia bagi sebagian orang. Makan bersama dengan makanan dan minuman lezat. Bertemu kerabat. Berbagi cerita tentang capaian kesuksesan dan berdrama. Mungkin hidup akan hambar bila tanpa drama. Entahlah.

Tapi, pernahkah anda terpikir bahwa bagi sebagian yang lain, mungkin, merayakan lebaran tidak seberuntung anda.

Ada penjaga SPBU, misalnya. Tak semua orang bisa menikmati cuti bersama. Pada setiap lebaran, lumrah bila antrian di SPBU akan panjang. Mobil dan motor berjejal mangantre untuk mengisi bahan bakar. Hal biasa bukan, setiap lebaran tiba, mobilitas tiap orang akan bertambah, untuk mudik, untuk silaturahim atau sekedar untuk keliling kampung sebagai niat pamer mobil baru hasil kerja keras di perantaun atau barangkali sekedar mau unjuk gigi pada mantan :).

Di situasi seperti itu, penjaga SPBU harus bekerja lebih ekstra, menangani pembeli, dan tak jarang juga merangkap tukang bersih. Saya sering menjumpai, pemudik yang beristirahat di SPBU, membuang sampah di sembarang tempat. Sedih rasanya melihat fenomena tersebut. Ternyata Ramadan yang telah mereka kerjakan selama sebulan penuh belum sanggup memupuk empati.

Mengutip tulisan Mas Kokok bahwa “banyak hal terjadi selama Ramadan, mudik, dan akhirnya kembali beraktivitas. Rindu Ramadan datang adalah satu hal, tetapi meneladani pencapaian kita sendiri dalam menahan diri untuk terus diaplikasikan di hari-hari biasa juga tak kalah penting. Semangat zakat fitrah, zakat mal, dan sedekah selama Ramadan juga perlu terus dilanjut terutama dalam hal mengasah empati. Setidaknya mendoakan saudara-saudara yang tidak seberuntung kita.”

Minal ‘Aidin wal-Faizin. Selamat menikmati libur lebaran. Tetap waspada dan selalu jaga kesehatan. Salam.

Catatan Pendek: Tentang Menjadi Dewasa

Saya, sama halnya anda. Tumbuh dan berkembang, dengan melewati beberapa fase hidup, dari awal lahir hingga sebesar dan semenjengkelkannya saya sekarang ini :). Dari setiap fase, selalu meninggalkan jejak, dalam bentuk kenangan ataupun memori. Baik yang menyenangkan dan yang tidak. Mungkin, bila ada kemampuan, saya ingin sekali menghapus kenangan yang menjengkelkan itu, kenangan-kenangan yang penuh peluh dan emosi. Tapi, kemudian saya berfikir, bukannya kenangan buruk itu memberi pelajaran di setiap fase hidup yang kita lewati, agar tidak terulang lagi. Dan menjadikan kita lebih bijaksana.

Di fase, di mana ketika kita menemui jalan terjal dan berbatu, nyaris putus asa, atau ketika menghadapi hal-hal besar, kenangan manis hadir di kala hal-hal yang menjengkelkan itu tiba, menguatkan dan meneguhkan kembali.

Beberapa hari belakang, saya gandrung mendengarkan lagu dari group musik Jepang Do As Infinity dengan Fuka mori-nya. Musik yang mengiringi anime Inuyasha ketika selesai.

Fuka mori. Ketika mendengarkannya, mengingatkan kepada masa lalu saya. Ketika (mungkin) limabelas tahun silam. Di mana saya masih bocah, tanpa beban hidup dan senantiasa gembira. Di mana saya belum ada tanggung jawab pada setiap keputusan yang saya buat. Tanggung jawab palingan hanya sebatas belajar dan menjadi anak baik. Kalo akhir pekan, masih bisa bermain dengan teman dan menonton tayangan akhir pekan kesukaan. Tanpa harus terbebani dengan deadline dan beribu tanggung jawab yang lain.

Oohh, indah dan menyenangkan sekali mungkin bila kita menjadi kanak-kanak terus tanpa harus menjadi dewasa. Namun, pada akhirnya itu hanya sebatas angan tidak lebih tidak kurang. Kenyataannya kita tetap tumbuh dan tetap harus melangkah. Menjadi lebih dewasa, menjadi lebih bijaksana. Meski menjadi dewasa itu melelahkan. Namun, jika beruntung kamu akan melewati hari-hari menjadi dewasa yang melelahkan itu ditemani seseorang yang peduli. Menjalaninya bersama-sama.

Catatan Pendek: Konsistensi

Entah bagaimana jadinya jika seorang Thomas Alfa Edison berhenti di percobaanya yang ke seratus misalnya. Atau Kolonel Sanders putus asa dengan percobaan ayam gorengnya. Mungkin anda tidak akan menjumpai lampu yang sekarang atau ayam goreng krispi itu.

Kita –saya rasa—sudah banyak tahu tentang resep menjadi sukses dari kisah hidup orang-orang sukses. Tapi, seberapa banyak dari kita yang mampu mengimplementasikan apa yang dilakoni orang-orang sukses itu.

Untuk menjadi pesepakbola hebat, latihan sederhana seperti drible dilakukan entah tak terhitung berapa kali, hingga ia dapat dikatakan mahir untuk hal itu. Namun, apakah kita sudah dapat menganggapnya hebat sebagai pemain bola? Tentu belum. Masih ada pelajaran lain dan ujian lain. Ujian yang akan ia hadapi di setiap pertandingan bola yang ia lakoni. Sampai orang benar-benar mengakuinya sebagai pesebakbola hebat.

Rumus tersebut juga berlaku untuk profesi lain. Seperti, penulis hebat tidak lahir begitu saja, ada ribuan bacaan yang sudah dibacanya dan ribuan tulisan yang sudah ditulisnya. Ingat bahwa pelaut handal tidak lahir dari laut yang tenang, ada ribuan badai yang telah ia lalui.

Dari kisah itu, kita tahu, butuh sebuah komitmen dan usaha terus-menerus untuk berhasil. Kita mengenalnya sebagai konsistensi. Seperti saya sekarang ini, saya mencoba untuk konsisten menulis, barang seminggu sekali.

Hidup itu kawan, bukan seperti pertandingan bola sepak yang ditentukan dengan hanya dua kali empatpuluh lima menit, atau balapan yang ditentukan oleh duapuluh dua lap. Bila diibiaratkan, hidup itu seperti marathon dengan jarak, panjang umur kita. Bukan sprint, yang cepat-cepatan. Tapi seberapa tangguh kita menghadapinya hingga akhir finish kita masing-masing.

Selamat berbuka puasa.

Hujan dan Ikhlas

Jum’at sore kemarin, hujan turun di tempatku (Malang). Hujan yang turun di hampir setengah jalan Bulan Puasa tahun ini. Terasa meyejukkan, setelah terik siangnya. Terasa seolah sudah lama sekali aku tak mencium harum tanah setelah hujan. Kondisi yang menyenangkan. Bagaimana tidak menyenangkan, hujan turun di saat seharusnya tidak dan turun di saat menjelang berbuka puasa.

Menjelang berbuka, aku dan rekan kerja memutuskan mencari takjil, usai jam kantor tentunya. Cuaca masih gerimis, sesekali hujan deras di beberapa wilayah yang kami lewati. Karena waktu berbuka hampir tiba, kami putuskan berhenti di salah satu warung Pecinan. Untuk berbuka.

Usai berbuka, kami lanjutkan mencari bakso bakar karena tujuan awal kami tadi itu. Menyusuri Jalan Soehat. Kuamati kanan-kiri. Aku melihat pedagang takjil masih banyak, padahal waktu berbuka sudah usai. Kurasa, tadi sepi pembeli. Mungkin karena gerimis. Ternyata gerimis lebih ditakuti ketimbang Corona.

Kami berhenti di penjual bakso bakar langganan kami. Penjual bakso langganan kami itu sepasang suami istri. Berjualan menggunakan motor bebek yang dibuat sedemikian rupa untuk mendukung fungsionalnya berjualan bakso bakar. Hanya pedagang keliling biasa, namun karena rasa, untuk saat ini saya pikir itu penjual bakso bakar yang enak di sepanjang Jalan Soehat ini.

Selama Ramadhan mereka berjualan di tempat itu. Buka menjelang maghrib ketika orang-orang ngabuburit dan tutup setelah dagangannya habis. Sudah kutebak sebelum sampai di tempat penjual bakso bakar itu, dagangannya tentu masih banyak. Memang nasib tak pernah mengenal iba.

Selama menunggu pesanan, saya mengamati kerja kompak dari sepasang suami istri itu. Sang istri menyiapkan bakso-bakso yang akan dibakar dengan cekatan, sedangkan sang suami mengkibas-kibaskan kipasnya ke pemanggangan dengan gerak tangan yang gemulai tapi mantap. Dan sang anak memeluk manja dari belakang sang ibu yang sibuk menyiapkan pesanan pembelinya, yang saat itu hanya aku seorang. Di setiap aku membeli bakso bakar di sini, aku selalu menjumpai juga anak perempuan dari sang penjual. Barangkali umur enambelas atau delapanbelas tahun, entahlah ku tak pandai dalam menebak umur.

Aku terenyuh dengan pemandangan itu. Pemandangan di bawah payung berwarna pelangi berdiameter satu-setengah meter dengan latar Jalan Soehat di malam yang gerimis.

Ketika aku masib belajar tentang sebuah laku ikhlas, terpampang di depan saya sebuah ikhtiar sepasang suami istri mengais rezeki, menjaring sebuah peluang terkecil di hari itu, dengan segala keterbatasannya. Ketika hari yang kuanggap menyenangkan itu, ternyata bagi sebagian orang harus mengeluarkan usaha lebih demi menyambung hidupnya.

Malang, malam itu terasa dingin. Dan semakin dingin di setiap gigitan bakso bakar yang kubeli itu.