Perspektif Sempit Tentang Stereotipe Perempuan

Sebagai manusia normal pasti akan merasa mangkel apabila dibandingkan dengan manusia lain, tak dipungkiri memang sebagai sifat alami, namun dapat disanggah dengan argumen-argumen untuk menutupinya. Rasa yang muncul dari kegiatan membandingkan ini dapat berbeda-beda tiap individu. Dan berbeda pula efek yang dirasakan oleh orang yang dibandingkan, tergantung pembandingnya dan siapa yang mengutarakannya (atau mungkin masih ada variabel lain).

Semisal orang tua yang membandingkan anaknya yang satu dengan yang lain, atau dengan orang lain yang menurutnya lebih sukses (parameter sukses menurut kaca mata masyarakat global). Untuk kasus ini saya bisa lebih lega karena alhamdulillah orang tua saya tidak seperti itu. Namun apabila kasus ini menimpa beberapa dari kalian, jangan berburuk sangka kepada orang tua anda, karena saya yakin niat orang tua anda baik, mungkin sebagai cambuk agar anda lebih optimis menatap kehidupan yang semakin tak menentu ini.

Suatu ketika saya dan teman-teman yang kebetulan cowok sedang menonton vlog Gita Savitri (youtuber yang sedang naik daun). Yups, saya juga pernah menggandrungi dan mengikuti aktivitas vlog si mbak Gitasav –sebutan Gita Savitri— ini. Cerdas, berprestasi, dan imut sungguh istriable lah. Eh maaf untuk kata “imut”, di sini saya memposisikan diri sebagai masyarakat global, dengan perspektif pelabelan terhadap wanita tak jauh dari kata cantik, imut, manis dan seputarannya.

 “Duh, cantiknya coba gue jadi cowoknya Gitasav !” celetuk teman saya bersemangat

iya ya, dibanding Paul (pacar mbak Gitasav) lebih mendingan lu kemana-mana cuk” jawab salah satu teman saya dengan susunan kata yang amburadul

Saya masih fokus menonton sembari sedikit mendengarkan celoteh mereka yang semakin mengkhayal tak karuan.

Setelah beberapa saat, entah kenapa saya kepikiran untuk mengutarakan pertanyaan kepada mereka.

lha cuk, kan kalian udah pada punya pacar cuk?” tanya saya di tengah percakapan teman-teman saya yang sudah kelewat jauh.

Terus” jawab teman saya berbarengan layaknya Caleb dan rekan kerjanya sesama driller menjawab pertanyaan Mike pada film Deepwater Horizon.

Begini cuk, misal lu ngomong (cantik ya si A, atau wah manis ya si B) ketika lu sedang jalan dengan cewek lu, gimana reaksinya?

Ya ngambek lah cuk

loh kok gitu lu kan gak ngebandingin dan toh misalkan memang si A cantik gimana?, dan  misal nih kalo dibalik. Cewek lu ngomong ganteng ya si A, atau gagah ya si B. gimana reaksi lu?

Biasa aja sih” jawab teman saya singkat sekaligus diamini teman saya yang lain

Nah, dari percakapan tersebut saya sedikit mengambil kesimpulan bahwa makhluk paling berperasaan yang berwujud perempuan ini gak suka kalo kita melihat dengan perspektif pelabelan-pelabelan seperti cantik, manis, imut dan lain seterusnya.

Mungkin akan beda reaksi mereka apabila anda menggunakan stereotipe cerdas, pintar, dermawan atau yang lain.

Kesimpulan saya tersebut didukung oleh survei kecil-kecilan yang saya lakukan kepada beberapa perempuan-perempuan yang saya kenal. Pertanyaan yang saya ajukan adalah bagaimana perasaan mereka apabila pasangan mereka memuji perempuan lain dengan stereotipe cantik, manis, imut, dan lain sebagainya di hadapan kalian.

Hampir semua responden yang tak banyak tersebut menjawab sama, bahwa mereka akan merasa risih dan kesal. Namun alasan mereka berbeda-beda. Mungkin hasil ini tidak bisa membuat saya untuk meng-general-kan bahwa semua perempuan seperti itu. Setidaknya ini dapat sebagai tolak ukur saja.

Kemudian pertanyaan lain saya ajukan, bagaimana perasaan kalian jika pasangan kalian memuji perempuan lain di hadapan kalian dengan stereotipe pintar, cerdas, dermawan dan lain sebagianya.

Nah, untuk pertanyaan ini ada beberapa pendapat dari responden saya. Beberapa pendapat adalah merasa tidak apa-apa dengan dalih hal tersebut dapat sebagai pemicu diri mereka pribadi untuk berusaha seperti mereka yang disebutkan pasangannya. Sedangkan yang lain merasa biasa saja tanpa alasan yang spesifik.

Mungkin nilai tambah jika sudah cantik plus pintar. Namun sial bila sudah gak cantik ditambah kelakuannya yang gak karuan. Seolah-olah seperti pernyataan “salah pilih itu sial, bertahan pada pilihan yang salah itu lucu. Udah sial masih melucu” yang Pak Rocky utarakan.

Nah, jadi sebagai laki-laki bijaksanalah dalam memandang strereotip terhadap perempuan. Guru saya pernah berkata, keindahan ragawi mungkin bisa luntur seiring waktu berjalan, lantas apa yang dapat dibanggakan dari diri manusia selain amal ibadahnya di hadapan Sang penguasa hidup dan sesamanya.