Lelaki Tua Yang Sedang Mencatat

“Tampaknya anda sendiri, boleh saya duduk di sini?” Tanyaku ketika melihat lelaki berumur enampuluhan itu.

“Oh, ya. Boleh. Silahkan.”

Saya duduk, kemudian menyedot es kopi susu gula aren yang telah saya beli dekat parkiran motor sebelumnya.

Sedikit mencuri pandangan, saya dapati lelaki tua tadi sedang menulis catatan, ditulisnya di buku yang saya rasa menggunakan kertas premium, berwarna coklat kekuningan dengan sampul kulit warna gelap.

“Malang di bulan-bulan seperti ini udaranya dingin.” Saya mencoba memancing pembicaraan.

Lelaki tua tadi menghentikan aktivitas menulisnya, dan menutup bukunya.

“Dik, pada bulan Juli hingga Agustus adalah musim kemarau. Ketika kemarau tingkat penguapan air lebih tinggi. Sehingga atmosfer bagian atas bumi dipenuhi uap air, kondisi ini akan menghalangi energi panas matahari sampai ke lapisan bawah atmosfer Bumi. Jadi, tak khayal bila udara terasa lebih dingin, namun tingkat kelembapannya rendah.”

Saya mengangguk-anggukkan kepala isyarat setuju dengan apa yang disampaikannya.

“Bapak pengajar ya?”

“Bukan, dik. Saya jurnalis.”

“Maaf Pak, melihat penjelasan yang anda sampaikan tadi, saya kira anda pengajar” Jawabku.

“Tak apa, dik.”

“Adik tinggal di sini?”

“Oh, tidak Pak. Saya pendatang.”

Lelaki tua itu masih tampak enerjik. Berkacamata tebal dengan topi fedornya. Tinggi kurang lebih seratus enampulahan senti dengan kulit sawo matang.

Cara berbicaranya pelan dan suaranya dalam. Seperti suara tokoh utama film 12 Strong. Meski tubuhnya kecil.

“Adik berasal dari Kalimantan ya?”

Mungkin karena melihat fisik saya yang keoriental-orientalan mirip suku Dayak.

“Ndak Pak. Saya dari Jombang.”

Sambil saya pandangi dia. Tampak dia sedang mengambil nafas panjang, dan tampak ia sedang menyusun kalimatnya.

“Ketika seumuranmu dulu, dik. Aku sudah keliling ke beberapa daerah di Indonesia dan sebagian juga ke luar negeri. Untuk tugas kerja”

Meski bukan yang terbanyak, namun tidak pula dapat dikatakan sedikit daerah-daerah yang telah ia kunjungi.

“Setalah beberapa tahun berproses ikut orang di sebuah industri percetakan, saya akhirnya memimpin sebuah industri media sendiri.”

Saya terus mendengarkannya berbicara. Hubungan kami saat itu tampak seperti seorang kakek yang sedang mendongeng untuk cucunya.

“Kala itu, aku sudah berkuarga. Ada istri dan anak yang harus kuhidupi.”

“Kondisi saat itu tak mudah, dik. Aku bekerja setiap hari tak kurang dari enambelas jam. Dan paling cepat pulang jam satu malam.”

Kalimat demi kalimat terus mengalir dari mulutnya.

“Kadang aku bertanya, benarkah jalan hidup yang kupilih ini. Aku yakin. Dan aku terus bergerak”

“Tahukah kamu, dik. Pada akhirnya seorang laki-laki dewasa harus mengambil sebuah pilihan. Meski, tidak dihargai, tidak diapresiasi atau bahkan tidak dicintai. Semata-mata hanya demi keluarga.”

“Sekarang, anak-anaku sudah besar dan berkeluarga. Aku biarkan mereka tumbuh dengan diskripsi perspektifnya masing-masing tentang aku. Tentang Bapaknya. Dan aku tetap menghargainya.”

Aku terus mencerna apa yang ia sampaikan. Dia mulai melihat jam tangannya.

“Sudah dulu ya, dik. Aku mau meneruskan perjalanan.”

“Oh, ya Pak. Terima kasih atas ceritanya.”

Kemudian dia berdiri dan berjalan menjauhiku, sambil terus kupandangi. Tampak dia masuk ke mobil Toyota Land Cruiser warna hitam. Mobil dengan pelat polisi berhuruf depan W dan satu huruf rangkaian belakangnya N yang saya ingat, dan sisanya aku lupa.

Tinggalkan komentar